Posts

Showing posts from December, 2013

Dear Kamu..

Banyak orang yang lebih pantas kamu rindukan. Banyak orang yang lebih pantas kamu sayang. Banyak orang yang lebih pantas kamu nantikan kehadirannya. Dan itu bukan aku. Berkali-kali kau katakan terus terang. Berkali-kali aku tau aku tak selalu dibutuhkan. Berkali-kali juga aku tak sadar kalau aku bukanlah apa-apa. Setiap hari kau katakan kau ingin pergi, setiap itu juga aku selalu menahanmu. Kau tau kenapa? Ah sudahlah. Tak penting kau tau apa alasanku bertahan se-lama ini denganmu. Setiap kali kau katakan hal itu, aku terluka. Sering kali aku menangis sendiri, tapi aku tak pernah jera menghadapimu. Lantas apa alasanmu pergi? Apa kau selalu merasa dimanfaatkan olehku? Apa aku seburuk itu? Lalu apa pula alasanmu mengatakan kau sayang dan rindu aku tapi kau selalu ingin pergi? Aku tak butuh tersenyum karena aku di bohongi. Aku lebih rela menangis karena kejujuran. Aku mengerti. Tapi bahkan sampai detik ini pun, bibirku belum ikhlas mengucapkan kata 'pergilah' terhadapmu. Bah

(mungkin) Aku Bukan Orang.

Harusnya aku yang pergi. Harusnya aku yang sadar diri. Iya, kan? Bukankah hadirku selalu membuat perdebatan? Mungkin aku hanya belum sadar diri, mungkin aku yang terlalu memaksakan diri untuk masuk dalam sebuah lingkungan yang membutuhkanku, mungkin aku salah masuk lingkaran. Aku ingin sadar, bisakah kau menyadarkanku dengan tamparan yang cukup keras, agar aku terbangun dan melangkah pergi; keluar dari lingkaranmu, keluar dari lingkunganmu, agar aku tak lagi hadir sebagai pembawa perdebatan. Bukahkah aku memang selalu memicu perdebatan? Mungkin aku memang lebih suka berdebat dibandingkan aku harus duduk diam. Tapi, aku tau, tak semua orang menyukai perdebatan. Apa mungkin, lagi-lagi, seperti yang pernah ku katakan; aku bukan orang.

Mengapa Aku Tak Setegar Dia?

Aku mengerling dengan sudut mataku. Ya, hanya dengan sudut mata pun sebenarnya aku sudah dapat melihatnya. Sesekali aku mendengar tawanya yang renyah di telingaku. Aku gusar, entah di sengaja atau tidak, aku tak tau. Yang pasti, ingin sekali aku mendatanginya dan mengatakan "Aku Kesel!". Tapi tidak! Aku segera menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya dengan perlahan. Aku mulai mengangkat majalah yang sedari tadi tergeletak di pangkuanku. Tak sadar, bentuknya sudah bukan seperti majalah lagi, buru-buru aku mengontrol tanganku yang ingin sekali merobek-robek majalah itu. Inilah hidup. Terkadang kau hanya mampu melihat orang yang kau sayangi dari jauh atau bahkan hanya sekerlingan mata, tapi semua itu punya sense tersendiri buatmu. Kau kesel sampai ke ubun-ubun, tapi kau tetap saja mencari kabar tentangnya. Kau cemburu setengah mati, tapi kau tetap saja melihatnya ketika ia bersama orang lain. Kalau kata orang, namanya juga sayang. Aku tak sepenuhnya seperti mereka a

Ternyata Aku Telah Mati.

Ku rasa hari ini aku senang. Aku merasakan desiran darahku mengalir lebih deras dari biasanya. Ya. Aku tau ini bukan pertanda aku sedang ketakutan, karna aku cukup tau kapan dan apa penyebab ketakutanku. Aku senang, sungguh. Aku merasakan hormon endorfin yang sangat banyak sedang berebut keluar dari masing-masing kelenjarnya. Hari ini, sebenarnya dengan sangat sengaja aku melihatmu. Seperti yang sering dikatakan orang, melihat orang yang kita sayangi dari jauh saja itu sudah cukup menyenangkan. Dan yap, benar. Aku melihat banyak perubahan dari dalam dirimu yang mungkin tanpa kau sadari telah ada dan semakin mencuat dari dalam dirimu. Aku suka itu, kau tau? Aku harap kau pecaya. Aaaaaa, ingin rasanya aku menari-nari layaknya balerina. Menari dengan hanya menumpukan tumitnya namun bisa menyeimbangi berat badannya. Tapi sayang, aku bukan seorang penari. Aku kurang suka menari, ya walau terkadang aku menginginkannya juga. Hei, aku tau puluhan hari itu tak bisa dikatakan 'baru b

Sediakah kau?

Deru angin kencang membangunkanku dari tidurku semalaman. Aku membuka mataku dengan cepat, melirik ke samping, dan.. tak ada kaudisana. Aku ingat sekali kaubilang kauakan datang dan menemaniku malam ini, ternyata kaubohong. Kaumengatakan hal itu hanya agar aku memaksakan diri untuk memejamkan mata dan tidur. Kautau? Aku berharap. Dalam ruang gelap ketika aku memejamkan mataku, aku sibuk meyakinkan diriku agar aku patuh kata-katamu. Agar aku memang benar-benar mendapatimu telah datang dan menemaniku lagi. Aku mengerti. Tak semudah itu bagimu untuk meninggalkan segala rutinitas barumu hanya untuk mendatangiku dari jauh. Lagi-lagi aku terlalu berharap dan sedih sendiri. Aku ingin berubah saja, berubah menjadi benda mati, kata kerja, atau apalah yang mampu membuatmu memperhatikanku. Kaulebih mampu memperhatikan laporan-laporan yang bahkan tak dapat mengecup keningmu ketika kauakan terlelap. Kau lebih sayang dan tak tega akan kata kerja yang selalu saja bisa membuatmu kesana-kemari tanp