Posts

Showing posts from 2014

Teruntuk Kamu.

Image
Teruntuk kamu, Cahaya liar yang setia, Aku belajar bagaimana harus bersikap darimu. Aku belajar bagaimana sabar itu sangat berarti dalam menghadapi segala. Aku belajar bagaimana asa adalah hal penting yang harus selalu ku jaga agar tak putus. Belajar banyak hal setinggi itu bukan perkara mudah. Banyak air mata, peluh, dan ketakutan yang seringkali menghantui tiap malamku, bahkan menyelimuti tidurku. Aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Sejak detik itu kaumenerima apa adanya diriku, dengan segala ketidakpercayaan diri dan ketidakberanianku, aku merasakan energi kehidupan yang sungguh mengalir deras dalam setiap pembuluh darahku. Bukan hal mudah yang telah kita lewati bersama, yang ku tau, kauselalu ada menopang setiap tulangku yang mulai lemah dimakan keputusasaan. Kebersamaan yang menyenangkan, tak terasa sebentar lagi akan berakhir. Tak akan ada lagi tawa yang menggema dalam setiap ruangan yang kita tempati, tak akan ada lagi tangisan haru menjamah hati, t

Giliranku, Kapan?

Image
Bersembunyi adalah hal paling ku gemari di masa kecilku. Bermain tanpa henti, mencari tempat persembunyian yang tak akan diketahui oleh orang lain, menyembunyikan diri se-sempurna mungkin agar bukan aku yang bertugas mencari. Mungkin aku memang terlalu mencintai permainan ini, hingga akhirnya saat ini, aku dipermainkan sendiri oleh permainan yang ku suka, bahkan lebih parah dari itu, aku bersembunyi lebih tepatnya tersembunyi, bukan karena inginku bersembunyi, tapi dipaksa bersembunyi. Apa lagi yang harus di tutupi jika memang segala sesuatunya normal dan berjalan apa adanya? Ada yang tidak normal dalam diriku, mungkin. Atau kamu. Atau, KITA? Aku kembali bersedih hari ini, sudah lama ternyata rasa sedih ini terpendam. Terbiasa disembunyikan, ternyata membuatku mahir menyembunyikan rasa. Gema cinta dimana-mana, namun pada akhirnya aku tau itu semua hanya kemunafikan semata. Semu; yang akan hilang dengan gampangnya karena kamu pun mengucapkannya dengan gampang. Dan aku, la

Tragic Story. Fake Smile.

Image
Andai saja niat baik selalu berbanding lurus dengan pemahaman orang lain. Andai saja judgement pribadi akan orang lain tidak terlalu menguasai bumi. Dan andai saja, kita lebih suka menjadi hakim akan diri sendiri; akan perkataan yang kita ucapkan, akan pandangan yang kita utarakan terhadap orang lain, pasti semua kekeliruan tak akan pernah terjadi. Aku kembali lagi membawa sekarung kata, yang selama ini hanya tersimpan diam di balik jeruji hati. Menatap matamu yang tertawa bahagia di dalam pigura ternyata tak cukup membuat hati berhenti menangis. Aku hampir lupa ritme suara tawamu, semua yang ku ingat hanyalah sesenggukan darimu yang kemudian larut di pundakku, bercampur dengan minyak wangi yang ku kenakan di pakaianku. Tragis kisah ini. Apa lagi yang akan terjadi setelah ini? Rasanya tak sanggup bila harus berada dalam kondisi terbuang olehmu; walaupun aku tau itu sudah terjadi. Bahagiaku tak terlalu rumit, cukup melihatmu bahagia pun aku sudah bahagia, walau sedih di

Rumahku Pergi

Sedikit waktu lagi dan rumahku akan pergi ke tempat lain dimana ia harus menggapai mimpinya. Sedikit waktu lagi dan aku akan kebingungan mencari tempat berteduh dari rintik kecil hujan serta teriknya mentari. Ingin rasanya ku perlihatkan air mata sang langit saat ini. Mengiringi detak jantungku yang mulai berdetak tak waras. Ini lebih dari sekedar kejutan. Lebih dari sekedar bepergian. Ini tentang angan yang terlalu kita harapkan dan aminkan dalam benak masing-masing kita. Semoga perjalananmu menyenangkan.

Semua Tentangmu; Aku Suka.

Image
Kesenanganku, Sayang, duduk diam memperhatikanmu tanpa kautau. Cukup dengan sekerlingan mata, walau mata tak sepenuhnya dapat melihat hingga terjauhnya rasa. Tanpa ada yang tau apa yang tertata dalam hati, berkecamuk dalam kepala, serta terlarut dalam darah. Tanpa ada yang mengerti apa dan bagaimana rasa itu tercipta serta terhadap siapa ia dicipta. Bak nada dasar yang tak akan pernah dilupa; selalu jadi patokan melantunkan lagu. Begitu pula kamu dan segala hal yang ada padamu. Selalu saja jadi patokanku bahagia. Karena bahagia tak semudah sekedar berkata "berbahagialah" lantas semua umat berbahagia. Melihat belakang saja memang bukan perkara mudah, tapi yang diam-diam ku akui dalam hati, aku suka. Melihat langkah kaki yang bergerak cepat namun tetap seirama. Ah, maafkan aku. Aku suka semuanya tentangmu. Walau suatu saat nanti aku hanya bisa memandang dari jauh, mengerling dari sudut mata, serta berjalan lambat di belakangmu agar kehadiranku tak mengusikmu.

Si Pencipta Duka.

Begitu duka, mencipta rasa tanpa memandang tempat. Begitu pun aku, merusak rasa tanpa memperhatikan subjek perasa. Bukan lihaiku mencipta kata, begitu pun maaf. Merasa seolah yang paling benar sendiri, cukup membuatku keliru akan hal-hal yang terjadi di sekelilingku. Ku akui, bahagia ku tak dapat ku pungkiri hari itu, namun seperti dikatakan sesepuh zaman dulu "jangan banyak tawa di awal, pada akhirnya bersisa air mata." Kini diam sudah jadi kawan. Tiada tawa terdengar, bahkan emoji pun tidak. Langkah kaki pun enggan bersuara, menghormati hati yang sedang berduka. Tapi aku lagi-lagi tak mampu mengerti. Kota impian kita dulu semakin memanggil-manggil ragaku. Entah apa yang salah akan kebersamaan yang tercipta ini. Tinggal hitungan hari, dan kamu tak akan lagi kecewa melihat tingkahku. Tinggal hitungan hari, dan kamu tak akan lagi benci dengan ketidakinisiatifanku. Kecewa pada diri sendiri bukanlah hal yang langka bagiku. Yang aku selalu tak mengerti hanya: mengapa aku s

Salam Haluan Kanan.

Akan takdir yang enggan mengalah, ku tuliskan kalimat ini bersamaan dengan ketidakmengertianku akan jalan yang kautunjukkan. Tentang haluan kanan yang seharusnya ku ambil, namun dengan diam-diam ku belokkan ke kiri. Kini aku menyesal, sungguh, mengambil jalan yang seharusnya tidak ku lewati. Sampaikan salamku pada haluan kanan, tempat dimana seharusnya aku berada.

Aku, Manusia Celaka!

Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. Kalau demikian bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku. Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku. Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang

Cinta?

"Seperti yang aku bilang, aku ngga perlu capek-capek buat mention kamu." "Loh, kenapa? Perlu dong!" "Engga. Toh juga tanpa di mention, kamu bakal stalking akunku dan baca dengan sendirinya, kan?" Stalk. Stalking. Stalker. Bukanlah hal yang asing di mata, telinga, bahkan mulut kita. Bahkan kerap kali menjadi kesenangan yang akan kurang jika tidak dilakukan. Aku ingin berbicara tentang sesuatu yang biasa di sebut orang cinta atau kasih atau sayang atau apapun itu sebutannya. Cinta itu sama dengan proses kamu pengin stalk, kemudian stalking, dan akhirnya mendapat predikat stalker. Sama. Cinta harusnya memang seperti itu. Ketika ada sesuatu yang rasanya hilang jika tidak melakukannya. Kali ini aku tak ingin bermain kata seperti yang biasa aku lakukan: membariskan diksi satu per satu dengan rapi tanpa cacat sedikitpun. Tidak. Aku hanya ingin menyampaikan kata penuh makna, yang akan berbeda artinya pada setiap individu. Aku ingin menyampaikan sesuatu s

I Love You.

Hari ini, di tengah teriknya mentari yang berpendar bagai kilauan kristal, perlahan-lahan memanggang kulitku tanpa pernah memikirkan apa yang ku rasakan. Sama halnya seperti kegagalan, yang pernah ku rasakan kala itu, ketika cinta masih setia membalut segala luka. Aku teringat akan sepotong kecil perjalanan hidup yang hingga sampai detik ini, aku yakin tak akan pernah melupakannya. Bukan karena manisnya kenangan, namun karena kuatnya ingatan. Aku ingin bercerita tentang sosok cinta yang kerap kali ku temui di setiap sisi kehidupan yang ku jalani. Bukan cinta jika ia tak benar-benar ada di setiap detik yang berganti, di setiap hela dan hembus napas yang ku hirup-buangkan. Cinta yang tak akan pernah pudar akan air, tak akan pernah lekang oleh waktu. Aku berdiri saat itu, di depan beberapa puluh pasang mata. Mata yang melihat hingga ke dalam relung mataku, berusaha mencari kebenaran di dalamnya. Aku bukan lagi aku saat itu, ku rasa yang mereka lihat bukanlah sosokku yang ku kenali d

See you, in Neverland.

Inilah waktu dimana aku harus menenangkan diri dan berdiam agar pil pahit ini dapat ku telan tanpa air. Lagi... Semoga kalian tetap aman, bahagia, dan tiba di tempat dimana harapan kalian berada. Isak tangis bukanlah hal yang perlu kaudengar lagi. Perhatian dan kepedulian tak butuh kepura-puraan. Selamat berjuang. Semoga langkahmu tak berhenti di tempat yang sama denganku. Semoga langkah kita tak berpijak di tanah yang sama. Kautak pantas dapatkan itu. Kautak pantas menelan pil-pil pahit yang acapkali harus ku telan. Keep healthy, Love. See you, in neverland.

Tak Semuanya Sama.

Sebuah kata jujur memang lebih berarti dibanding sebaris kalimat bualan. Aku kembali mencoba memahami apa yang sebenarnya bersembunyi di balik kalimat demi kalimat yang terus saja terucap dari setiap mulut orang. Seakan tak mengerti makna. Seolah tak tau rasa. Ku rasa bukan aku saja yang merasa risih dengan semua tatapan sinis. Namun kerap kali risih yang ku rasakan ku posisikan terhadap diriku sendiri yang tak jarang membuatku lemah dan semakin lemah. Hari ini, k aukatakan lagi kalimat itu. Sebagai seseorang yang enggan untuk pergi, ketahuilah bahwa akan ada saatnya kepergian malah bukan awal yang baik seperti yang seringkali di suarakan khalayak ramai. Mengertilah, tak semua manusia bernyawa ini sepertimu. Tak semua kita sama. Tak semua rasa juga sama. Kadang manis kita puja sebagai rasa yang paling luar biasa dalam hidup, namun taukah kaubahwa kelebihan manis pun hanya akan membuat tubuhmu menggeliat geli karena kemanisan yang selalu saja di tawarkan dunia? Pikirkanlah matang

XOXO ({})

Jika kauada di tempat dimana aku berada sekarang ini, percayalah kauakan merasakan mual yang sangat hebat akan apa yang ada di hadapanmu kini. Bukan. Bukan karena ada manusia berkebutuhan gerak banyak sedang mencari muka, namun karena matamu dipaksa menatap kolabirasi konsonan dan vokal yang menari-nari pada layar proyektor. Ah, sudahlah. Kalau ku jelaskan lebih panjang, aku yakin kautak akan mengerti. Mengenai pelvis, limpa, serta thymus yang baru saja mendengung di telingaku. Apa yang akan kaukerjakan di siang yang prematur ini, Sayang? Istirahatkan saja tubuh lelahmu. Sebelum ia timpang dan tak kuat lagi berdiri seperti kursi-kursi taman yang dicuri kedua kaki kirinya. Kabari aku secepat yang kaumampu ya, aku menunggu pesan kabarmu hinggap di kotak masuk pesanku. Aku harus kembali lagi. Kali ini bahasannya mengenai sistem imun. Ku rasa aku harus mendengarnya. Imunku lemah. Selamat siang, Sayang. Jangan lupa makan siang, sendirian, aku tak ingin makan siangmu ditemani orang lai

Alasan Terselubung Yang Selalu Saja Ku Simpan Sendiri.

Aku terlalu payah berusaha, hingga segala sesuatunya terasa gamang. Menghubungimu adalah hal tersulit yang ku hadapi beberapa bulan terakhir ini, terlebih ketika gadget terlalu menudungi kepalamu. Kini yang ku punya hanyalah selembar putih kosong blog, mati, semu. Aku tak punya cara lain bahkan waktu sebentar saja untuk ku curi darimu, perhatianmu sulit sekali ku raih. Tulisan ini akan berbicara tentang sebuah alasan, yang aku tau selalu kaubenci. Aku tau bahkan sangat tau, akupun sejujurnya membenci alasan, tapi percayalah, alasan yang akan kuutarakan ini bukanlah alasan klasik. Aku lelah dengan semua kegiatan yang ku jalani kerap kali. Mungkin karena motifku salah. Aku memang menginginkannya, namun di tengah perjalanan, aku menambahkan lagi motif terselubung dalam semua kegiatanku. Aku hanya ingin capek. Gila? Memang. Aku ingin merasakan capek yang luar biasa, dimana aku harus bekerja keras setiap harinya, dimana aku harus rapat ini itu, dimana aku bisa langsung tidur begitu

(ini bukan) Bullshit.

"Selamat malam, Kamu. Mungkin saat ini kamu sudah tidur, walaupun aku berharap belum. Ku coba menghubungimu namun jawab tiada menyapa. Ini mungkin cara paling primitif yang kerap kali ku lakukan, tapi kali ini aku ingin benar-benar bercerita sesuatu. Hari ini aku ujian, ku rasa aku gagal. Sama dengan kegagalanku memahamimu, kan? Maafkan aku. Sejujurnya aku pun kurang mengerti, bagaimana hal ini dapat terjadi akanku. Aku hanya belum menjadi pakar kesehatan, maka semuanya ini terasa kelabu. Aku terlalu takut akan vonis, walau aku tau sungguh bahwa vonis tak akan mampu mengambil nyawaku, kan? Aku sungguh tak merasa perubahan yang berarti dalam diriku, awalnya ku kira aku hanya terlalu lelah sehingga aku tertidur. Namun hal ini seringkali terjadi belakangan ini. Lelahku lenyap, namun kantuk senantiasa menyertaiku. Aku teringat ibuku. Ia dahulu pernah mengalami hal seperti ini. Beberapa waktu lalu, aku sempat memeriksakan mataku sebelum aku mengambil tindakan untuk mengunjung

K. L.

Image
Kala duka mengoyak tabir hati yang kian perih, ku lihat lagi kau di ujung jalan. Langkahmu tak pernah kalah akan waktu. Ketika tahu yang kausantap tinggal tetap dalam otakmu, kaujauhkan jarak antarkursi tempat ku duduk. Katamu, K. Dua tiga hari ku lihat lagi kau di ujung jalan, masih dengan langkah yang tak pernah kalah oleh waktu. Harapanku, ku dapati guratan tipis senyum di wajahmu. Namun tidak. Langkah seribu membawamu pergi ke tempat lain tanpa sedikitpun melihatku. Katamu, K. Malam ini, langit bercerita sendu. Tentang K yang selama ini kata orang ada. Tersedu ia menangis membasahi rambutku yang baru saja kering dihembus angin siang. K. Kemudian L. Berturutan dalam deretan abjad. Konsonan selamanya. K. Kawan. Hanya. Dalam. Duka. Mengalahkan Segalanya Menyingkap Tirai Hitam Pembungkus Kebusukan Kini aku mengerti, arti sebuah konsonan K. "K pada Kawan, L pada Lawan." Aku tak mengerti arti kata "Kawan". Siapa penciptanya. Untuk apa diciptakan. Se

Hanya Jika Kaubutuh.

Karena air mata tak akan pernah keluar untuk sesuatu yang tak pantas, maka aku selalu berusaha memantaskan diri agar ketika orang lain harus menangis karnaku, setidaknya aku adalah orang yang pantas. Tapi jangan tangisi aku karena kauharus meninggalkanku lagi. Aku mampu bangkit sendiri dari keterpurukanku. Aku mampu melangkahkan kaki kembali walau bukan dalam waktu yang singkat. Aku terbiasa sendiri, dalam nyata. Harapanku menginginkan kehadiranmu yang nyata, ku rasa tak pantas di sebut harapan lagi. Ketika kautau aku menangis, tenanglah. Ratusan lembar tissue selalu tersedia di sampingku untuk menghapus jejak air mataku. Kamu, yang selama ini telah setia dan berusaha bertahan dalam diam, terima kasih ya. Untuk segala yang kauperbuat. Maafkan aku jika aksaraku kali ini tak seindah yang lainnya. Aku kacau. Selamat berjuang. Selamat menikmati hari-hari yang semakin cepat berjalan memakan waktu berhargamu dengan orang-orang tersayangmu. Semoga kauselalu dalam lindungan Tuhan. Jika

Wanita di Ujung Jalan.

Image
Jika kautemukan seorang wanita muda di ujung jalan ini, tak benar-benar mengenakan atasan penuh, dekaplah ia. Hatinya sedang rapuh, kering di terpa angin malam. Benamkan kepalanya dalam dadamu yang kerap kali ia rindukan. Bukan karena nafsu yang membara, namun karena ia butuh di perhatikan. Bawakan ia sepotong kain untuk menutup tulang lehernya yang beku. Pinjamkan ia jaket untuk menghangatkan tubuhnya. Jika kaumenemukan seorang wanita di ujung jalan ini, jangan tanyakan macam-macam, ia hanya perlu tindakan, bukan ucapan. Lukiskan senyum di bibirnya, kecup lembut keningnya. Hanya keningnya - karena ujung jalan itu adalah tempat umum. Genggam erat tangannya, berikan ia kasih yang tulus, bawa ia pulang ke tempat kautinggal, untuk sementara. Jika kaumenemukan seorang wanita di ujung jalan ini, pastikan pita suaranya tidak hilang di lahap senja. Pastikan ia mengenalimu dengan baik, pastikan senyumnya tidak berubah ketika melihatmu. Agar kaumengerti, bahwa memang kaulah yang di nanti

Me(di)lawan Kepahitan.

Image
Surat ini ku tujukan kepadamu bersamaan dengan derasnya hujan di balik jendela kamarku. Menghantarkan kembali tumpukan rindu yang tak sengaja teronggok di balik badan. Tak henti-hentinya aku mengutarakan rasa rinduku akanmu. Baru ku sadari lagi kini, memendam itu sakit ya? :') Tanpa sadar ku kenakan lagi kemeja pink yang waktu itu ku pakaikan di badanku di kala kita bepergian. Aku rindu. Menggenggam tanganmu tanpa batas. Menatap wajah lelahmu yang tetap saja terpancar bahkan ketika kauberusaha untuk menutupinya. Kini aku sedang duduk di hadapan kita, kita dalam bingkai. Pigura polosnya menunjukkan betapa tulusnya senyum yang kau berikan. Aku tau. Memandangimu memang selalu menyenangkan dan menenangkan hati, Sayang. Seolah tanganmu sedang menggenggam tanganku sambil berbisik bahwa segala hal buruk pasti akan segera berlalu. Ingin rasanya ku ikat semua hampa ini erat-erat dan membawanya ke depanmu, agar pelukmu menghancurkannya dan menciptakan ketenangan-ketenangan baru untukku.

Masih?

Denyut nadi menari di bawah kulit berlapis-lapis. Tumpang tindih di antara serabut otot yang melintang tak searah. Ku tutup aliran darahku sebelah, berharap ia tak terus-menerus meneriakkan namamu keluar. Masih ingatkah kautentang janji yang kita ikat bersama di masing-masing pembuluh darah kita? Tujuannya agar kita tak akan lupa satu sama lain. Ku harap masih..

Separuh Detik.

Image
Jika harus ku ungkapkan lagi alasan apa yang ku simpan hingga kini tulisanku kian rapuh, aku akan menjawab; kita. Kita adalah jawaban dari banyak pertanyaan yang mungkin akan kaulontarkan. Kita adalah alasan mengapa aku mampu menyusun huruf demi huruf hingga membentuk jalinan kata indah. Sayang, jika memang kita yang selama ini menjadi alasan hidupnya aksaraku, maka biarlah ia kini beristirahat. Seperti aliran air yang tak akan pernah berhenti mengalir dari sumbernya, seperti itulah sesungguhnya rasa yang tersembunyi dalam nadiku. Sayang, bukan genggaman tanganmu yang ku butuhkan saat ini, namun sedikit perhatian darimu. Bukan tubuhmu yang ingin ku peluk erat saat ini, namun sedikit pedulimu. Aku bukan seorang tamak yang ingin mengambil semua waktumu, aku hanya butuh separuh detik yang kaupunya. Sayang, jika kita sudah tidak menjadi alasanmu untuk tetap bertahan di sampingku, terimalah kiranya doa tulus dari bibirku kini; semoga kautemukan kita-mu secepatnya. Aku, M. Elysa Nasr

#AdaYangHilang

Image
Sayang, jika duka ternyata lebih banyak dibanding suka, pantaslah jika kauingin berdiri di garda terdepan dalam list #AdaYangHilang kepunyaanku. Dan kala aku menemukan kembali kauyang akan hilang itu, aku ingin kaukembali tanpa penyesalan. Karna jika #AdaYangHilang itu memang benar-benar harus aku rasakan, aku mau kaubiarkan saja tanganku yang akan menyembuhkan lukaku kelak. Selamat menempuh hidup baru, Sayang. Jangan hancurkan tembok yang kaubangun sendiri, karena sejak detik ini, aku telah merasakan akan #AdaYangHilang dari dalam jiwaku. #AdaYangHilang Sayang; kamu.

Titik.

Demi apapun yang mengawali datangnya hari ini, aku tidak hendak berkata-kata manis maupun mengumbar janji palsu lagi. Aku juga tak peduli tanggal berapa dan siapa yang berulang tahun hari ini. Karena yang ku tau, ribuan orang lahir dan mati; pulang dan pergi; menangis dan tertawa di menit yang sama. Aku juga tak ingin mewakili rasa setiap asa, karena yang aku tau, aku bukanlah volunteer. Mengenai hari ini, hanya satu yang ingin ku sampaikan padamu, pengikat setiap desah napasku, titik. Ku dengar suara sayup-sayup berorasi tentang titik. "Titik adalah tanda berakhir dan dimulainya sesuatu." Lantas, apakah kaupikir aku akan meletakkan titik itu di akhir kisah kita hari ini? Mungkin iya. Iya. Dan semuanya berakhir. Tapi berdiamlah sejenak, aku ingin memberitahukan sesuatu lagi, pohon pisang, yang setiap kali di tebang, ia akan tetap tumbuh. Aku ingin menjadi pohon pisang, yang setiap kali kaububuhkan titik di akhirnya, kisah ini akan terus tumbuh, mengulang perjalanannya

#LatePublishStory

Bukankah kita pernah bertekad dalam hati kita masing-masing untuk tetap bertahan dalam perjuangan ini? Lalu dimana kautimbun kini bangkai kenangan yang katamu akan kaulupakan? Tak pernahkah kauberniat bertahan sedikit lagi, hingga aku mati dalam cengkraman tanganmu? Kauharus tau, Sayang, aku lebih rela mati dalam cengkraman tanganmu dibanding kaubiarkan aku ke alam bebas sedangkan sayapku pun sudah patah di hantam badai semalam-malaman.

Surat Tanpa Nama dalam Pangkuanmu.

Image
Tanpa mengurangi rasa hormatku akan dikau, ku hantarkan lagi surat tanpa nama ini ke pangkuanmu; yang kian hari kian rapuh menunggu senja. Kabarku baik, bagaimana denganmu? Ah, aku yakin kaubaik dan akan selalu baik. Kaukah itu yang rindu akan aku? Masihkah namaku kausebut dalam setiap doamu? Di kala setumpuk makhluk mati bernamakan laporan harus segera di kemas rapi, aku lebih memilih untuk masuk menelusuri rasaku yang paling dalam, yang diam-diam ku sembunyikan di palung terdalam dari hati. Gelak tawamu mengalir bersama air mataku. Ya, rupanya kausangat berarti. Ibu, bilakah aku akan pulang? Aku ingin kita kembali merajut kenangan bersama, lebih banyak kian harinya. Ayah, apakah masih ada waktu untukku menantikanmu di teras rumah hingga kaumembukakan pintu untukku, gadis kecilmu yang sekarang telah beranjak dewasa ini? Ku harap masih. Kerutan di wajahmu, kala itu akan menebal, aku ingin akulah yang menjadi saksi pertamanya. Melihat betapa sungguh-sungguhnya kalian berusaha me

Aku Rindu Rumahku.

Ku pandangi indahnya sinar rembulan yang menerangi malamku kali ini. Aku, yang berkali-kali merindu di tempat antah berantah ini, kembali ingin pulang. Ini baru hari ke-7, Sayang, dan aku seperti mau mati rasanya. Aku kehilangan jiwa, kehilangan separuh napas yang terbang entah kemana. Mungkin aku bukanlah seorang hebat yang selalu mampu berusaha menahan diri dan melawan semua rindu yang menggerogoti habis tubuhku yang lemah ini. Aku, seperti yang sering kali ku ungkapkan, bukanlah seorang kuat. Aku lemah. Bagai ranting patah yang kemudian terkulai. Aku rindu rumahku. Berapa lama lagi aku harus berada jauh dan terasing seperti ini? Mimpi buruk demi mimpi buruk kerap kali menjadi selimut yang membungkus malam-malamku. Mencekik leherku hingga tersengal napasku. Jika jarak memang bisa di bunuh, lantas alat setajam apa yang mampu menghabisi nyawanya? Jika jarak memang pantas di lawan, lantas kutuk apa yang akan terima kala kita melawan jarak? Aku rindu rumahku, Sayang. Aku rindu ru

Penyatu Benang Jarak; Hantarkan Aku Dalam Doa.

Image
Kepadamu, Pejuang yang selalu berhasil mematahkan kaki sang jarak, Sengaja ku pilihkan diksi terbaik untuk mengawali aksaraku kali ini, tak lain agar kataku tak semudah kaumengunyah lumat-lumat makanan yang kausantap kian hari. Kita sama-sama tahu, malam ini akan menjadi malam terakhirku menginjakkan kaki di daratan yang sama denganmu, sebelum akhirnya aku pergi dan kembali lagi ke kota ini. Sudah siapkah benang yang waktu lalu sempat ku gulung rapi untuk direntangkan kembali? Ku rasa tidak. Merindu adalah sebaik-baiknya menahan hati. Karna jarak membuat kita tak mampu saling mengintip satu sama lain lagi, karna jarak membuat kita tak mampu saling mengeratkan pelukan di bahu masing-masing. Ku titipkan suratku ini pada udara yang membawa gelombang sinyal menuju tempatmu berada, agar kautau, seorang yang kaukasihi ini tak setegar yang kaukira. Hanya punggung tangannya yang lusuh inilah yang tahu, apa yang sebenarnya harus ia lakukan setiap kali air matanya terbuang karna jarak. Wa

Wahai Cahaya Yang Liar; Tuhankah?

Image
Gelap tak selamanya buruk, katamu. Kenapa?, tanyaku berulang kali sambil menatap matamu dalam-dalam. Kau diam, lagi-lagi diam. Hanya pelukanmu yang terasa semakin erat mendekapku, lebih erat dari dekapan sang malam yang merobek kasar kulitku. Disini, selalu seperti ini. Dan katamu kausuka. Kita tak pernah sedekat ini, kan?, tanyamu, tanpa sedikit pun memalingkan wajahmu ke arahku. Ah, aku mengutuki diriku yang tak sejangkung dirimu. Berulang kali aku harus mendongakkan kepala demi melihat gerakan bibirmu tiap kali kaubicara. Duhai gelap yang diam, Berapa lama lagi kaumembiarkanku gamang menunggu jawaban? Kaulepaskan pelukanmu kemudian beranjak pergi. Kausapu dapurku dengan sekali pandang. Matamu sangat buas, ia mampu menembus hal-hal yang tertutup. "Kau punya lilin? Sebatang saja." Kaumulai mengacak-acak laci dapurku mencari sebatang lilin. "Kaumau tau mengapa aku mengatakan bahwa gelap tak selamanya buruk?" Tanyamu sembari mengambil duduk di sampingku lagi.

Lekas Sembuh, Sayang <3

Image
Engkau yang selalu mampu membuatku tersenyum, aku ingin menguji keahlianku dalam merajut kata, untukmu. Disaat udara yang ku hela tak lagi semurni dulu - saat kita belum mengenal apa itu jarak. Aku ingat betul hari dimana kita menangis bersama, entah apa yang kita tangisi waktu itu. "Aku bangga punya kau." Sayang, ku peringatkan; walau ku tau menelan kembali ludah yang telah di keluarkan itu adalah suatu kejijikan; aku ingin kaulakukan hal itu sekarang, sebelum kaumenyesal pernah mengatakan hal tu, sebelum aku bermegah diri atas pujian surga dari bibirmu. Mungkin waktu itu kautak menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkan rasamu, maka kaumenggunakan kalimat itu. Aku tak pernah berkorban apa-apa untukmu, kan? Lalu mengapa kaukatakan kau bangga akan aku? Sayang, sembari menunggu senja menyapa hariku, aku menunggumu selesai dari kesibukanmu, menantikan perhatianmu yang acap kali direbut oleh makhluk tak bernyawa bernama kesibukan. Ku dengar kausakit. Jangan sakit lagi,

Suara Hati Tanpa Syair

Image
Hujan Membawa serta serdadu rindu tak bertepi Hilang bersama riuhnya angin Tinggalkan wanita cilik; Licik Menyimpan rindu dalam gudang Terbang bersama ribuan ringan sekam Ampas rindu teronggok lemah Tak berdaya; tiada bernyawa Hujan pagi ini; Bercerita tentang kerinduan tak berbalas Dipisahkan jaringan tubuh yang perlahan mati Hujan pagi ini; Menyanyikan suara hati Tanpa syair Menyeka rindu yang terbasuh air mata Terbungkus dalam hasrat ingin bertemu Hujan pagi ini; Bercerita tentang air yang hanya akan mencari tempat yang rendah Ia enggan sombong Tak punya prestasi dalam hal meninggi Tak jarang dipandang rendah Bersama sentuhan sang hujan Wanita cilik berlarian mencari tempatnya bermuara Hingga suatu kali, Kala hujan turun pagi ini lagi Aku menemukan kotak nirwana Bermandikan pasir lelautan Wanita cilik menemukan rumahnya Balok berukuran satu kali dua meter Mati bersama rindu Hanyut dibawa derasnya arus Ku harap ia tenang Menemukan rindunya kembali Ag

Aku Menyayangimu.

Demi bulan sabit yang menerangi malam hari ini, demi bintang-bintang yang mengalah lantas bersembunyi akan sabitnya bulan, demi udara yang ku hirup dalam; aku menyayangimu. Tak lebih besar dari makhluk berkaki-tangankan dua, berhidung-mulutkan satu, yang memeluk hanya karna ada maunya. Sayangku, percayalah, kaubisa meraih tanganku, menggenggamnya selama yang kaubisa, sebelum kita terpisah jarak lagi. Kataku bergejolak, memaksakan diri keluar melalui celah sempit nadiku, berlari mendahului darah. Sesingkat inikah waktu kita, Sayang? Mustahilkah memintal waktu bersama, merajut kenangan tanpa kenal lelah. Lenganmulah tempatku menyandarkan lelah. Bahumulah tempatku melepas beban. Taukah kau, Sayang, kau benar-benar rumahku; tempatku berpulang dari cengkraman lelah. I don't wanna have to go, where you don't follow, Love. Aku, Wanita yang berharap dapat menelanjangi indahnya bulan sabit, denganmu; entah kapan.

Masih Ada Aku.

Bekas luka itu sakit lagi, seolah lukanya menganga kembali. Aku terhempas, kehabisan napas. Deretan kata yang terangkai ini, aku enggan menyebutnya indah, aku bukan penenun hebat. Kita sama, Nona, hati kita terlalu lemah. Tak kuat menahan serbuan udara yang memaksa masuk dalam dada. Air mata lah yang kerap kali menjadi teman kita meniti hari. Bersandarlah di bahuku jika kaubutuh tempat menyandarkan lelahmu, mengistirahatkan penatmu, mengoyakkan tabir resahmu. Ingatlah, masih ada aku. Lelaplah di dadaku, Nona, selama aku masih bernyawa, selama detak jantung kita masih mengeluarkan irama yang sama; walau tak selalu dalam frekuensi yang seragam. Aku menyayangimu, Nona, ingatlah hal ini. Dunia boleh mencaci kita, manusia bisa mereka segala yang jahat, tapi kita akan tetap kita. Masih ada aku; wanita yang bisa kaujadikan tong sampah kala kau ingin berbagi suka-duka. Berbahagialah, aku bangga padamu. Berjuanglah, hingga kaudapat merasakan nikmat Tuhan yang selalu kurasakan hingga kin

Me(-)reka

Reka, Begitu cara mereka memanggilmu, kan? Panggilan yang kerap kali kauagung-agungkan namun tak kunjung kaupaham artinya. Mereka. Mengapa kausuka menyebut dirimu mereka? Bukankah kauhanya seorang diri? Setauku kautak punya siapa-siapa selain aku. Sedalam itukah rasa bencimu hingga untuk menyebut hatimu sendiripun kaumenggunakan sebutan mereka? Jika pun iya, mengapa bukan dia? Mengapa mereka? Apa kaujuga membenci hatiku? Mereka bukan kita, Sayang. Merekalah yang suka mereka; kita tidak. Kita bukan mereka, Sayang. Kita tak suka mereka.

Kita.

Image
Kita, Itulah jawabku jika kelak ada yang menanyakanku perihal sesuatu yang selalu mampu menguji daya juangku. Melupa itu tak semudah kaumengeluarkan kata 'lupa' dan BAMM!!! seketika lupa. Mencinta juga tak semudah menenggak anggur di kala gundah memaksamu terjaga di malam kelam. Begitu pula kita. Mencipta kita tak lebih mudah dibanding melupa dan mencinta. Memang, ku akui, suka dan duka berlari beriringan, tapi bukankah untuk menjadi yang paling utama dibutuhkan daya juang yang lebih tinggi dari pesaing lainmu? Bertahanlah jika memang hal itu berharga. Kaubukan orang bodoh yang akan membiarkan 'harta'mu dicuri dari dekapanmu, kan? Mengapa tak kaucoba berlari sekuat yang kaumampu, agar aku mengerti, apakah desah napasmu mampu mempertahankan kita, yang ku anggap berharga? Agar aku mengerti, desah napasmu bukan hanya pemuas nafsu sang rembulan. P.S: Berlarilah tanpa lelah, kauakan temukanku membawa kita di garis akhir lintasan ini. Telanlah susahmu, akan ku bayar

Wanita Pejuang Cinta.

Image
Pejuang Cinta, Apa kabar, kamu, wanita yang dulu pernah berbagi tawa denganku tanpa kenal waktu? Surat ini kutuliskan untukmu bersamaan dengan ribuan jarak yang terbentang antara kita, kini. Apa yang terjadi denganmu? Hinakah aku hingga kautak sudi memalingkan wajahmu ke arahku? Aku lelah menjadi aku, seorang yang tak pernah berjuang apa-apa ini. Aku pernah tau tentang perjuangan tiada henti; darimu; kauyang mengajarkannya padaku, dalam diam. Cinta harus diperjuangkan, katamu. Lantas kauberjuang merebut cinta yang kata kebanyakan orang mampu menghidupkan segala yang mati, mengalirkan darah pada tulang yang mengering, menggerakkan bola mata pada ruang kosong. Aku belajar satu hal darimu, kegigihan yang kaumiliki mampu membuatku bertahan hingga kini, mampu membuatku mengerti apa itu cinta; pantas atau tak pantas di perjuangkan. Kauyang kini ku sebut pejuang, aku bersyukur pernah mengenalmu. You save me. Kaumemang baik. Bertahanlah, wanita pejuang cinta. Aku mengerti cinta yang

Aku; Yang (tak pernah) Menjadi Rumah Tempat Kauberpulang.

Bagiku, rumahku adalah kamu, berbeda denganmu. Bagimu, rumahmu adalah rumahmu, sebenar-benarnya rumah; tanpa kiasan. Sayang, tak taukah kau aku ingin juga dijadikan rumah, tempat kauberpulang, tempat kaumelepas penat dalam, tempatmu meneduhkan hati dari redupnya sinar kesibukan, tempatmu menghirup-helakan napas? Tertanda, Aku; yang selalu kau sayang, namun tak pernah menjadi rumah tempatmu berpulang.

Memori Itu Di Cipta.

"Aku baru tau, Sayang, hadirku ternyata bukanlah memori bagimu.", gumam Entah. "Lantas apa yang kausebut memori?", sambungnya menahan tangis. Entah, seorang yang lahir dari dunia antah berantah, menangisi diri. Memori tak semudah menggores luka hatimu, ternyata, sama sulitnya dengan membangun kembali kita; yang berulang kali kaucoba runtuhkan. "Memori itu di cipta, Entah. Ia mampu tercipta sendiri, namun tak mampu berkurang bahkan hilang; hanya mampu bertambah. " Aku sayang kamu. Entah berbisik lembut seraya mengulum bibirnya, lembut.

Wanita Perusak Pintalan.

Mentari seakan enggan berlalu, tiada sedia memberi celah sedikit pun akan awan. Aku tak akan membiarkanmu tenggelam bersama derasnya debit air mata sang langit, bisiknya. Ku biarkan angin kencang menerbangkan rambut panjangku. Aku tak benar peduli kini. Kepalaku yang meronta sedari tadi, seolah ingin memuntahkan sesuatu ke luar, sangat menyiksa. Kata mereka, sang surya adalah baik, kata mereka; tidak. Aku benci dia; yang tak bisa menyatukan kita. Untuk apa sang surya bersinar jika kita tetap tak mampu memeluk waktu bersama? Salahku kah ini, Sayang? Salahku kah bila aku enggan beranjak pergi meninggalkanmu dan kenangan yang sudah terlalu banyak kau cipta antara kita? Sudah lelahkah kau, Sayang, bertahun-tahun berperan sebagai pemintal kenangan? Tertanda, Wanita Perusak Pintalanmu.

Rangkaian Aksara Untukmu.

Sayang, Aksara ini ku rangkaikan padamu, sebagai permintaan maafku. Bagaimana keadaanmu? Ah, tak sepantasnya aku menanyakan hal ini karena aku tau keadaanmu pasti sangat buruk; sama. Di bawah temaram bulan malam, aku membenamkan wajah ke pangkuanku, sendiri, tersedu. Sudah adakah seorang sempurna yang inginnya selalu sama denganmu itu, Sayang? Ku harap belum dan tak akan pernah ada. Agar aku tak tergantikan; egois. Sayang, Inginku, percayalah, aku tak sedang merangkai kata dusta, aku juga tak sedang memainkan peran palsu seperti dilakukan kebanyakan orang. Aku memainkan peranku sendiri, sebagai seorang terkasihmu, sebagai seorang yang menyayangimu; lisan dan tulisan. Kaukah itu? Yang hatinya selalu saja sakit karenaku? Yang air matanya selalu terbuang sia-sia karenaku? Tinggal sedikit lagi waktuku berada di daratan dimana kauberada, dan aku masih saja bodoh. Aku masih saja bodoh untuk memahami hatimu. Aku masih saja bodoh untuk mengerti maumu yang katamu tak pernah sama denganku

Salahkah, Sayang?

Lantunan irama lembut menyentuh hingga ke dalam naluriku. Gesekan lembut antara jari-jari lentikmu dengan tuts hitam putih tak bernyawa itu selalu saja mampu menghipnotisku. Mereka menari, berjuang menghasilkan nada-nada indah; kali ini garpu tala tak terlalu dibutuhkan, rupanya ia mulai tergantikan. Sayang, bolehkah aku bertanya sesuatu? Baru kali ini rasanya aku harus benar-benar menanyakan pertanyaan yang muncul di benakku, aku, hanya tak mampu berucap langsung, mengertilah~ Sayang, perihal pertanyaanku kelak, harap kautak marah, ya? Penuh otakku, tak kuasa menerka jawabnya. Lidahku kelu. Syarafku bak tali yang hampir putus. Dadaku berdetak tak beraturan seperti genderam yang hendak perang. Sayang, salahkah ciumku tadi malam? Selamat tidur, Sayang.

Ada Aku, Di Kopi Pahitmu.

Selamat siang, penikmat kataku, bagaimana harimu sejauh ini? Tidakkah mereka lebih lezat dari racikan kataku yang tak ada apa-apanya ini? Aku mengerti. Bagai deru air mancur yang tak jarang ku abaikan, begitu pula aku, yang terbenam dalam kubur sibukmu. Kau sesap kopimu pagi ini, masih pahit. Kautambahkan lagi beberapa sendok gula berharap kopimu akan manis; sirna, harapanmu terlalu tinggi. Kopi itu, kini ku umpamakan sebagai kesibukan; yang mau tak mau harus kausesap walau rasanya sangat pahit, yang mau tak mau harus kaudahulukan walau tenggorokanmu dilanda kemarau. Sayang, tak bisakah kaulupakan kopi itu sejenak? Aku, yang ku umpamakan gula, tak mampu melawan kopi yang begitu pahit. Aku, yang ku umpamakan gula, dipaksa menyatu dengan kopi dan akhirnya larut menjadi satu. Aku, yang ku umpamakan gula, menangis tersedu menahan sakit - dipaksa meleburkan diri dalam kepahitan. Guna tak ada lagi, karena ketika pun kauingin meninggalkan kopi itu, kaujuga berarti meninggalkanku yang sud

Rangkaian Rahasiaku, Semoga Ia Tepat Waktu.

Detak jarum jam melambat. Ia butuh sedikit waktu untuk berhenti berdetak. Sama sepertimu, di kala kaumerasakan lelah yang luar biasa, kaubaringkan badanmu menghadap langit-langit kamar, berharap dapat berkompromi dengan mata agar ia menutup. Selamat malam, kamu. Aku kenal betul lelahmu, aku paham betul bagaimana kauharus memenangkan hari ini tanpa harus kalah ditaklukkan oleh sakit. Dari sini, telah ku kirimkan rangkaian rahasia yang ku rajut dalam anyaman kasat mata terucap bernamakan kumpulan kata, yang menjuntai indah di balik tidur lelapmu. Selamat malam, semoga rangkaian rahasiaku sampai padamu tepat waktu, sebelum maupun di kala kautertidur.

Aku, Di Antara Nafas Yang Memburu

Kakiku berlari mendahului langkah dan bayangku yang masih tertinggal jauh di belakang. Rupanya ia masih begitu bersemangat ku ajak berlari. Tanganku bergerak seirama langkahku yang perlahan melambat. Nafasku memburu. Berebut masuk ke paru-paru. Aku tau apa yang ku cari. Mataku melacak dengan cepat mengungguli kecepatan butir hujan yang sedari tadi membasahi rambutku, menemani kakiku berlari. Aku terduduk, maksudku tak benar-benar duduk, hanya mensugestikan diriku duduk agar nafasku tak terlalu susah di atur, agar ia tak lebih cepat dari detak jantungku sehingga mampu meninggalkan tubuhku. Aku masih memerlukannya. Aku mengumpat ngga jelas kala kakiku yang sudah lebih dulu meninggalkan langkahku terantuk potongan besi di gudang. Entah dengan apa aku merasa. Akhirnya mataku menangkap sesuatu bak kopasus menjaring teroris dalam jaring jebakan yang mereka rajut. Aku merindukanmu. Selalu. Air mataku ikut ambil bagian, ia tak puas jika hanya air hujan yang membasahiku sore itu. Aku; y

Garpu Talamu, Gelas Kacaku.

Sepiku gusar di sapu suara yang riuh redam memenuhi otakku. Ia enggan di ganggu, entah sudah yang ke-berapa-kali hal ini terjadi. Terlalu baik untuk tak di goda, terlalu jahat untuk di usik dengan usikan tak berpendidikan. Kini ia pecah, suaranya tak lagi merdu seperti dulu, kala garpu tala di dentingkan pada sebuah gelas kaca nan indah hanya untuk mencari sebuah nada baru. Bila sudah seperti ini, apa kaupikir kita masih bisa mendapatkan nada sempurna yang mampu menggerakkan kakunya kaki dan bekunya hati? Tidak. Jangan harap. Ia lelah, katanya. Lantas ia meremukkan dirinya sendiri agar ia tak perlu lagi merelakan diri menjadi korban garpu tala; dalam genggamanmu.

Bagaimana Menurutmu, Sayang?

Aku terkadang memang seperti anak kecil yang mempunyai banyak pertanyaan di otakku. Banyak. Namun sedikit yang terungkap. Sehingga aku seringkali lebih banyak diam. Tapi kali ini, aku rasa aku harus menanyakan hal ini; tentang apa itu sibuk. Ibuku pernah bilang, katanya sibuk itu ketika kamu sedang mengerjakan sesuatu sehingga kamu tak bisa di ganggu. Aku kira ibu keliru, atau mungkin, kurang tepat menyampaikan definisinya. Bagaimana denganmu, Sayang? Aku tak sepenuhnya menyalahkan definisi sibuk yang ku dapat dari ibu, aku hanya akan memperbaikinya sedikit saja. Buatku, selama aku memperhatikan dan merasakan seperti apa dikatain sibuk dan seperti apa merasakan aura sibuk darimu, aku mengerti definisi sibuk yang sesungguhnya. Sibuk itu adalah ketika kamu sedang mengerjakan atau mempunyai sesuatu untuk diselesaikan, yang sebenarnya tidak sepenuhnya menyita perhatianmu karena kamu tetep bisa nyambi mengerjakan hal lain, tapi secara tidak langsung, sesuatu yang di-sambi tadi lebih ba

Tertanda, Aku; Yang Selalu Menyayangimu.

Selamat pagi menjelang siang, hai kamu, yang aku cintai dengan sebuket penuh rangkaian kata indah. Bagaimana hatimu sejauh ini? Perihal semalam, soal ucapanmu mengenai aku yang hanya mampu berani lewat tulisan namun terlalu takut untuk meminta secara lisan, aku minta maaf. Aku memang bukan seorang yang mampu banyak berucap. Aku lebih menikmati rangkaian kata indah yang di jalin begitu rupa, tentunya dengan kejujuran dan ketulusan. Semoga kaumengerti, kita memang tak akan pernah sempurna dalam hal ini, tapi memilikimu sebagai orang tersayang yang lebih suka berujar secara langsung, rasanya aku sudah cukup sempurna; karena aku memilikimu. Tertanda, aku yang tak pernah sekalipun berhenti menyayangimu, baik lisan maupun tulisan <3

Lupa.

Ngomong-ngomong soal lupa, aku mungkin bukan ahlinya. Aku tak pernah tau apa itu lupa, awalnya. Aku tak mau tau apa itu lupa dan bagaimana caranya lupa, khususnya tentang kamu. Coba koreksi definisi lupa yang akan ku utarakan ini. Lupa itu, ketika kamu tak sanggup lagi untuk peduli dan memerhatikanku disaat kamu sibuk, benar? Maafin aku kalau aku salah, tapi itulah yang aku mengerti soal lupa. Oh ya, satu hal lagi, yang aku tau, lupa itu ada yang di sengaja dan yang ngga di sengaja. Tapi... Entah kenapa yang ngga di sengaja terasa lebih menyakitkan karna tanpa di rencanakan hal itu terjadi, di luar kendalimu. Aku bukan tak bisa lupa tentangmu, bukan. Aku hanya tak ingin lupa. Membantah lupa. Menolak lupa. Melawan lupa. Agar aku selalu mengingatmu. Mengingat semua kenangan bersamamu, kamu yang terkasih. Bagaimana denganmu? Maukah kamu menjadi temanku melawan lupa?

Aku Ingin Bertemu, Boleh?

Doa dan keinginanmu seakan terwujud dengan baiknya. Kau nggak butuh usaha banyak hanya untuk nggak ketemu aku. Aku sedih. Iya. Aku sedih harus menghadapi kenyataan yang sebenarnya kalau bisa milih, aku nggak bakal milih pilihan yang ini. Aku sakit. Sendirian. Kamu? Entahlah. Aku harap kamu nggak pernah bisa ngacuhin aku. Tapi nyatanya.. Aku pengen ketemu kamu, masih boleh? Hhh. Hanya kamu yang tau jawabannya. Aku.. Aku hanya merasa nggak bakal bisa siap buat nggak ketemu kamu lagi. Ini lebih menyakitkan, hei, lebih menyakitkan nggak bisa nemuin kamu sedangkan aku pun berada satu daratan denganmu. Aku kangen kamu. Percayalah. Aku ingin bertemu kamu. Semoga kamu masih punya celah sedikit saja untuk ngebuka hati buat ketemu aku. Semoga. Selamat beraktivitas, kamu, aku... Sayang kamu.

Blo(g)ck

Aku kembali lagi dalam duniaku, tenggelam dalam riuhnya angin malam, terhanyut di antara jam dinding yang berdetak. Ya. Inilah aku. Seseorang yang selalu menunggumu dalam segala ketidakpastian yang ku punya, bahkan dalam diriku sendiri. Aku bukan penulis yang mampu bermain kata begitu rupa. Aku bukan penyair yang mampu membuatmu hanyut dalam syairku. Aku bukan pula seorang penyanyi yang mampu me-nina-bobo-kan rasa yang kau punya agar selalu tertidur di sampingku. Aku hanyalah seorang gadis yang suka nge-blog dan selalu di block. Aku suka duniaku. Aku menikmatinya, yes i did. Tapi mungkin tidak untukmu. Aku hanyalah seorang cupu yang tak mampu mengungkapkan perasaan lebih dari sekadar tulisan. Kau suka duniamu. Kau menikmatinya, yes you did. Tapi mungkin tidak untukku, dulu. Kini, aku mencoba menikmati kesenanganmu yang selalu nge-block aku. Bukan. Bukan karna aku senang di jauhi olehmu, tapi karnaaaa... Ah, ada baiknya kau menanyakannya langsung padaku. Hei, angin malam membisikk