Posts

Showing posts from February, 2014

#LatePublishStory

Bukankah kita pernah bertekad dalam hati kita masing-masing untuk tetap bertahan dalam perjuangan ini? Lalu dimana kautimbun kini bangkai kenangan yang katamu akan kaulupakan? Tak pernahkah kauberniat bertahan sedikit lagi, hingga aku mati dalam cengkraman tanganmu? Kauharus tau, Sayang, aku lebih rela mati dalam cengkraman tanganmu dibanding kaubiarkan aku ke alam bebas sedangkan sayapku pun sudah patah di hantam badai semalam-malaman.

Surat Tanpa Nama dalam Pangkuanmu.

Image
Tanpa mengurangi rasa hormatku akan dikau, ku hantarkan lagi surat tanpa nama ini ke pangkuanmu; yang kian hari kian rapuh menunggu senja. Kabarku baik, bagaimana denganmu? Ah, aku yakin kaubaik dan akan selalu baik. Kaukah itu yang rindu akan aku? Masihkah namaku kausebut dalam setiap doamu? Di kala setumpuk makhluk mati bernamakan laporan harus segera di kemas rapi, aku lebih memilih untuk masuk menelusuri rasaku yang paling dalam, yang diam-diam ku sembunyikan di palung terdalam dari hati. Gelak tawamu mengalir bersama air mataku. Ya, rupanya kausangat berarti. Ibu, bilakah aku akan pulang? Aku ingin kita kembali merajut kenangan bersama, lebih banyak kian harinya. Ayah, apakah masih ada waktu untukku menantikanmu di teras rumah hingga kaumembukakan pintu untukku, gadis kecilmu yang sekarang telah beranjak dewasa ini? Ku harap masih. Kerutan di wajahmu, kala itu akan menebal, aku ingin akulah yang menjadi saksi pertamanya. Melihat betapa sungguh-sungguhnya kalian berusaha me

Aku Rindu Rumahku.

Ku pandangi indahnya sinar rembulan yang menerangi malamku kali ini. Aku, yang berkali-kali merindu di tempat antah berantah ini, kembali ingin pulang. Ini baru hari ke-7, Sayang, dan aku seperti mau mati rasanya. Aku kehilangan jiwa, kehilangan separuh napas yang terbang entah kemana. Mungkin aku bukanlah seorang hebat yang selalu mampu berusaha menahan diri dan melawan semua rindu yang menggerogoti habis tubuhku yang lemah ini. Aku, seperti yang sering kali ku ungkapkan, bukanlah seorang kuat. Aku lemah. Bagai ranting patah yang kemudian terkulai. Aku rindu rumahku. Berapa lama lagi aku harus berada jauh dan terasing seperti ini? Mimpi buruk demi mimpi buruk kerap kali menjadi selimut yang membungkus malam-malamku. Mencekik leherku hingga tersengal napasku. Jika jarak memang bisa di bunuh, lantas alat setajam apa yang mampu menghabisi nyawanya? Jika jarak memang pantas di lawan, lantas kutuk apa yang akan terima kala kita melawan jarak? Aku rindu rumahku, Sayang. Aku rindu ru

Penyatu Benang Jarak; Hantarkan Aku Dalam Doa.

Image
Kepadamu, Pejuang yang selalu berhasil mematahkan kaki sang jarak, Sengaja ku pilihkan diksi terbaik untuk mengawali aksaraku kali ini, tak lain agar kataku tak semudah kaumengunyah lumat-lumat makanan yang kausantap kian hari. Kita sama-sama tahu, malam ini akan menjadi malam terakhirku menginjakkan kaki di daratan yang sama denganmu, sebelum akhirnya aku pergi dan kembali lagi ke kota ini. Sudah siapkah benang yang waktu lalu sempat ku gulung rapi untuk direntangkan kembali? Ku rasa tidak. Merindu adalah sebaik-baiknya menahan hati. Karna jarak membuat kita tak mampu saling mengintip satu sama lain lagi, karna jarak membuat kita tak mampu saling mengeratkan pelukan di bahu masing-masing. Ku titipkan suratku ini pada udara yang membawa gelombang sinyal menuju tempatmu berada, agar kautau, seorang yang kaukasihi ini tak setegar yang kaukira. Hanya punggung tangannya yang lusuh inilah yang tahu, apa yang sebenarnya harus ia lakukan setiap kali air matanya terbuang karna jarak. Wa

Wahai Cahaya Yang Liar; Tuhankah?

Image
Gelap tak selamanya buruk, katamu. Kenapa?, tanyaku berulang kali sambil menatap matamu dalam-dalam. Kau diam, lagi-lagi diam. Hanya pelukanmu yang terasa semakin erat mendekapku, lebih erat dari dekapan sang malam yang merobek kasar kulitku. Disini, selalu seperti ini. Dan katamu kausuka. Kita tak pernah sedekat ini, kan?, tanyamu, tanpa sedikit pun memalingkan wajahmu ke arahku. Ah, aku mengutuki diriku yang tak sejangkung dirimu. Berulang kali aku harus mendongakkan kepala demi melihat gerakan bibirmu tiap kali kaubicara. Duhai gelap yang diam, Berapa lama lagi kaumembiarkanku gamang menunggu jawaban? Kaulepaskan pelukanmu kemudian beranjak pergi. Kausapu dapurku dengan sekali pandang. Matamu sangat buas, ia mampu menembus hal-hal yang tertutup. "Kau punya lilin? Sebatang saja." Kaumulai mengacak-acak laci dapurku mencari sebatang lilin. "Kaumau tau mengapa aku mengatakan bahwa gelap tak selamanya buruk?" Tanyamu sembari mengambil duduk di sampingku lagi.

Lekas Sembuh, Sayang <3

Image
Engkau yang selalu mampu membuatku tersenyum, aku ingin menguji keahlianku dalam merajut kata, untukmu. Disaat udara yang ku hela tak lagi semurni dulu - saat kita belum mengenal apa itu jarak. Aku ingat betul hari dimana kita menangis bersama, entah apa yang kita tangisi waktu itu. "Aku bangga punya kau." Sayang, ku peringatkan; walau ku tau menelan kembali ludah yang telah di keluarkan itu adalah suatu kejijikan; aku ingin kaulakukan hal itu sekarang, sebelum kaumenyesal pernah mengatakan hal tu, sebelum aku bermegah diri atas pujian surga dari bibirmu. Mungkin waktu itu kautak menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkan rasamu, maka kaumenggunakan kalimat itu. Aku tak pernah berkorban apa-apa untukmu, kan? Lalu mengapa kaukatakan kau bangga akan aku? Sayang, sembari menunggu senja menyapa hariku, aku menunggumu selesai dari kesibukanmu, menantikan perhatianmu yang acap kali direbut oleh makhluk tak bernyawa bernama kesibukan. Ku dengar kausakit. Jangan sakit lagi,

Suara Hati Tanpa Syair

Image
Hujan Membawa serta serdadu rindu tak bertepi Hilang bersama riuhnya angin Tinggalkan wanita cilik; Licik Menyimpan rindu dalam gudang Terbang bersama ribuan ringan sekam Ampas rindu teronggok lemah Tak berdaya; tiada bernyawa Hujan pagi ini; Bercerita tentang kerinduan tak berbalas Dipisahkan jaringan tubuh yang perlahan mati Hujan pagi ini; Menyanyikan suara hati Tanpa syair Menyeka rindu yang terbasuh air mata Terbungkus dalam hasrat ingin bertemu Hujan pagi ini; Bercerita tentang air yang hanya akan mencari tempat yang rendah Ia enggan sombong Tak punya prestasi dalam hal meninggi Tak jarang dipandang rendah Bersama sentuhan sang hujan Wanita cilik berlarian mencari tempatnya bermuara Hingga suatu kali, Kala hujan turun pagi ini lagi Aku menemukan kotak nirwana Bermandikan pasir lelautan Wanita cilik menemukan rumahnya Balok berukuran satu kali dua meter Mati bersama rindu Hanyut dibawa derasnya arus Ku harap ia tenang Menemukan rindunya kembali Ag

Aku Menyayangimu.

Demi bulan sabit yang menerangi malam hari ini, demi bintang-bintang yang mengalah lantas bersembunyi akan sabitnya bulan, demi udara yang ku hirup dalam; aku menyayangimu. Tak lebih besar dari makhluk berkaki-tangankan dua, berhidung-mulutkan satu, yang memeluk hanya karna ada maunya. Sayangku, percayalah, kaubisa meraih tanganku, menggenggamnya selama yang kaubisa, sebelum kita terpisah jarak lagi. Kataku bergejolak, memaksakan diri keluar melalui celah sempit nadiku, berlari mendahului darah. Sesingkat inikah waktu kita, Sayang? Mustahilkah memintal waktu bersama, merajut kenangan tanpa kenal lelah. Lenganmulah tempatku menyandarkan lelah. Bahumulah tempatku melepas beban. Taukah kau, Sayang, kau benar-benar rumahku; tempatku berpulang dari cengkraman lelah. I don't wanna have to go, where you don't follow, Love. Aku, Wanita yang berharap dapat menelanjangi indahnya bulan sabit, denganmu; entah kapan.

Masih Ada Aku.

Bekas luka itu sakit lagi, seolah lukanya menganga kembali. Aku terhempas, kehabisan napas. Deretan kata yang terangkai ini, aku enggan menyebutnya indah, aku bukan penenun hebat. Kita sama, Nona, hati kita terlalu lemah. Tak kuat menahan serbuan udara yang memaksa masuk dalam dada. Air mata lah yang kerap kali menjadi teman kita meniti hari. Bersandarlah di bahuku jika kaubutuh tempat menyandarkan lelahmu, mengistirahatkan penatmu, mengoyakkan tabir resahmu. Ingatlah, masih ada aku. Lelaplah di dadaku, Nona, selama aku masih bernyawa, selama detak jantung kita masih mengeluarkan irama yang sama; walau tak selalu dalam frekuensi yang seragam. Aku menyayangimu, Nona, ingatlah hal ini. Dunia boleh mencaci kita, manusia bisa mereka segala yang jahat, tapi kita akan tetap kita. Masih ada aku; wanita yang bisa kaujadikan tong sampah kala kau ingin berbagi suka-duka. Berbahagialah, aku bangga padamu. Berjuanglah, hingga kaudapat merasakan nikmat Tuhan yang selalu kurasakan hingga kin

Me(-)reka

Reka, Begitu cara mereka memanggilmu, kan? Panggilan yang kerap kali kauagung-agungkan namun tak kunjung kaupaham artinya. Mereka. Mengapa kausuka menyebut dirimu mereka? Bukankah kauhanya seorang diri? Setauku kautak punya siapa-siapa selain aku. Sedalam itukah rasa bencimu hingga untuk menyebut hatimu sendiripun kaumenggunakan sebutan mereka? Jika pun iya, mengapa bukan dia? Mengapa mereka? Apa kaujuga membenci hatiku? Mereka bukan kita, Sayang. Merekalah yang suka mereka; kita tidak. Kita bukan mereka, Sayang. Kita tak suka mereka.

Kita.

Image
Kita, Itulah jawabku jika kelak ada yang menanyakanku perihal sesuatu yang selalu mampu menguji daya juangku. Melupa itu tak semudah kaumengeluarkan kata 'lupa' dan BAMM!!! seketika lupa. Mencinta juga tak semudah menenggak anggur di kala gundah memaksamu terjaga di malam kelam. Begitu pula kita. Mencipta kita tak lebih mudah dibanding melupa dan mencinta. Memang, ku akui, suka dan duka berlari beriringan, tapi bukankah untuk menjadi yang paling utama dibutuhkan daya juang yang lebih tinggi dari pesaing lainmu? Bertahanlah jika memang hal itu berharga. Kaubukan orang bodoh yang akan membiarkan 'harta'mu dicuri dari dekapanmu, kan? Mengapa tak kaucoba berlari sekuat yang kaumampu, agar aku mengerti, apakah desah napasmu mampu mempertahankan kita, yang ku anggap berharga? Agar aku mengerti, desah napasmu bukan hanya pemuas nafsu sang rembulan. P.S: Berlarilah tanpa lelah, kauakan temukanku membawa kita di garis akhir lintasan ini. Telanlah susahmu, akan ku bayar

Wanita Pejuang Cinta.

Image
Pejuang Cinta, Apa kabar, kamu, wanita yang dulu pernah berbagi tawa denganku tanpa kenal waktu? Surat ini kutuliskan untukmu bersamaan dengan ribuan jarak yang terbentang antara kita, kini. Apa yang terjadi denganmu? Hinakah aku hingga kautak sudi memalingkan wajahmu ke arahku? Aku lelah menjadi aku, seorang yang tak pernah berjuang apa-apa ini. Aku pernah tau tentang perjuangan tiada henti; darimu; kauyang mengajarkannya padaku, dalam diam. Cinta harus diperjuangkan, katamu. Lantas kauberjuang merebut cinta yang kata kebanyakan orang mampu menghidupkan segala yang mati, mengalirkan darah pada tulang yang mengering, menggerakkan bola mata pada ruang kosong. Aku belajar satu hal darimu, kegigihan yang kaumiliki mampu membuatku bertahan hingga kini, mampu membuatku mengerti apa itu cinta; pantas atau tak pantas di perjuangkan. Kauyang kini ku sebut pejuang, aku bersyukur pernah mengenalmu. You save me. Kaumemang baik. Bertahanlah, wanita pejuang cinta. Aku mengerti cinta yang

Aku; Yang (tak pernah) Menjadi Rumah Tempat Kauberpulang.

Bagiku, rumahku adalah kamu, berbeda denganmu. Bagimu, rumahmu adalah rumahmu, sebenar-benarnya rumah; tanpa kiasan. Sayang, tak taukah kau aku ingin juga dijadikan rumah, tempat kauberpulang, tempat kaumelepas penat dalam, tempatmu meneduhkan hati dari redupnya sinar kesibukan, tempatmu menghirup-helakan napas? Tertanda, Aku; yang selalu kau sayang, namun tak pernah menjadi rumah tempatmu berpulang.