Posts

Showing posts from 2016

Unspoken.

Tak banyak hal yang ternyata dapat kuungkapkan, lisan maupun tulisan. Mengingatmu dalam diam dan doa terkadang sudah lebih dari cukup untukku, walau sesekali ingin sekali kurasakan lagi aroma tubuhmu kala kusandarkan kepalaku di pundakmu. Terakhir kali kudengar suaramu, aku tau kau sedang menangis. Sejujurnya saat itu aku sangat panik, karena sebelumnya aku memang sedang berdebat dengan hatiku yang tiba-tiba ingin menghubungimu kembali. Tapi apa? Apa yang harus kukatakan untuk memulai percakapan? Jika kau masih mampir ke tempat ini, sebelum tahun ini berakhir, izinkan aku menyampaikan kembali permintaan maafku. Ingin kuucapkan "andai", namun yang ku tahu "andai" tak akan pernah menyelesaikan apa-apa, karena semuanya telah terjadi. Tulisanku hambar. Aku tahu. Sejak tak ada kamu di dalamnya.

Dua Bagian Kehidupan

Hari ini dia disadarkan bahwa yang selama ini dijalaninya adalah bagian dari kehidupan. Bukan berarti dia tak pernah sadar bahwa ini adalah kehidupan. Bukan pula karena dia merasa terlalu superior untuk menyadari hal-hal yang inferior. Mungkin dia hanya sedang dilema hingga rasanya dia sedang melayang, berada di antara. Mereka bilang hidup adalah tentang pertemuan dan perpisahan. Hari ini bertemu orang baru, hari itu pula dapat berpisah, tanpa sempat mengukir kisah, tanpa sempat bertukar cerita. Dari sebuah pertemuan, dia pernah diajarkan bagaimana berperan sebagai penikmat kata, kemudian menjadi perangkai kata kala perpisahan harus diahadapinya. Hanya saja, terkadang dia terlena. Terlalu lama menikmati pertemuan, hingga tak sadar banyak hal lain yang terjadi di sekitarnya atau terlalu lama meratapi perpisahan, sedang orang lain berlomba-lomba meraih cita.

Kisah Sang Peramu

Hidupku pahit Anggap saja ia kopi Lalu kau datang Membawa butiran kristal putih bernama gula Untuk urusan meramu Katanya kau memang jagonya Dan aku memilih percaya utuh Walau sama sekali tak ku kenal mereka yang mengatakannya Setahun berlalu Kau peramu yang baik Bulan berganti Kau masih peramu yang baik Tahun keenam bergulir Kau tetap yang terbaik Kopi yang pahit kini berubah rasa Di tangan peramu terbaik Kau genggam seluruh pahit yang pernah ada Hingga aku lupa rasa yang sebenarnya Kemudian suatu hari Kau kehabisan kristal putih tersebut Aku yang sudah lupa Merasakan kembali pahitnya kopi Katamu pahit itu baik Sesekali dirasakan takkan mengapa Kemudian di suatu hari yang lain Katamu kau ingin pergi sebentar Membeli gula di warung yang lain Hingga hari berganti bulan Mungkin kau lupa jalan pulang Membiarkanku bersahabat dengan pahit Lalu apa aku salah? Jika saat kau kembali datang Menawarka

Sepenggal Perjuangan

Melawan rasa kantuk yang menyelimuti tubuh. Membiarkan badan disiram dinginnya air pagi hari. Memoles wajah malas agar terlihat ceria. Kejar-kejaran dengan waktu. Ah, keretanya terlambat. Berjalan mengitari berhektar-hektar lapangan kerja demi mengawasi bawahan. Berkawan dengan teriknya mentari. Merelakan sinarnya merusak pigmen kulit. Ah, pengeluaran tetap saja banyak. Memaksa tak kenal dengan waktu luang. Tidur tak cukup. Mata berlingkar hitam. Ingin membuat bangga orangtua. Ah, nilainya tetap saja pas-pasan. Bangun lebih pagi. Berperang dengan adonan masakan. Vokalisasi suara membangunkan pasukan. Ah, ternyata masakannya tak digubris. Singsingkan lengan baju. Ikrarkan kemandirian, kemudian beranjak pergi menjauh. Bertanya apa yang sebenarnya ia cari diantara penatnya ibukota. Ah, rupanya dia masih pemula. Sepenggal kisah ini tentang perjuangan-perjuangan hari ini. Yang mungkin saja tidak dirasakan oleh orang lain. Aku? Hanya pengamat perjuangan, yang sedang dilatih agar si

Bersama

Kita diingatkan kembali pada masa-masa kebodohan kita bersama. Saat kita sama-sama memutuskan untuk menjalani hari bersama. Dunia membisikkan janji-janji manis yang akan segera kita dapatkan asalkan kita bersama. Kebodohannya? Kita sama-sama percaya. Hingga akhirnya, kita putuskan untuk mencoba menjalaninya. Seperti tebu, awalnya memang manis, namun berujung ampas yang kemudian dibuang tanpa ampun. Oh, beginikah rasanya kebersamaan yang dijanjikan dunia? Yang hanya mengenal kata "bersama" ketika rasanya manis saja, kemudian disingkirkan perlahan-lahan dengan cara yang pura-pura?

Tanpa Definisi

Lama rasanya aku tak berkelana menjelajahi liarnya ibukota seorang diri, seperti yang sering kulakukan bertahun-tahun lalu. Ngilunya masih sama, seperti pertama kali kurasakan udara malam ibukota yang penuh polusi. Gemericik hujan di teras rumah menjadi kawanku malam ini, musim penghujan tampaknya akan segera tiba dalam waktu dekat. Kali ini aku tidak sedang memunggungi kenyataan seperti yang kerap kali kulakukan, mungkin mencoba tegar sesekali bukanlah hal yang salah, maka aku memberanikan diri, melawan segala kuatirku untuk menyaksikan apa saja yang terjadi dibalik punggungku. Ada yang lebih memilih diam, karena mereka tahu, diam adalah bahagia yang tidak disertai intimidasi. Mereka diam, agar mulut orang-orang juga ikut bungkam. Mereka diam, karena tak selamanya suara menghasilkan persetujuan. Mereka diam, karena cibiran adalah pembunuh kebahagiaan. Malam ini kunikmati rerintikan air hujan yang ramai mengetuk-ngetuk atap, bergelut dengan pertanyaan tentang definisi yang seda

Beda yang Mana?

Aku kembali pada duniaku yang penuh kesendirian, duduk membelakangi kenyataan yang harus ku kunyah lumat agar tak dicecoki dengan mitos-mitos buatan manusia. Kisah ini bukan tentangku, tapi tentang mereka yang tanpa sadar selalu mengusik pikiranku, mereka yang diam-diam mengalihkan perhatianku. Mereka berbeda. Iya. Sebagian hal memang diatur berbeda agar dapat bersama, seperti halnya mereka: pria dan wanita, namun sebagian hal lainnya diharapkan sama - walau tak selalu begitu, seperti yang sedang kulihat di hadapanku kini: mereka. Menurut mereka, berjalan berdampingan tak harus selalu sama, tak bisa diharapkan sama, dan tak mungkin dipaksakan sama, seperti derap langkah kaki mereka yang tak selalu seirama. Kadang terdapat lubang di tengah jalan yang mengharuskan kanan ditapakkan dua kali dalam selisih waktu yang berdekatan. Tak apa, kata mereka. Tatapanku tak lepas dari gerak-gerik mereka hingga kulihat ada yang berbeda. Di perempatan jalan, mereka berpisah, berjalan sendiri

Selamat Ulang Tahun

Jika suatu hari nanti aku terlalu nyaman berada di kota orang, ingatkan aku untuk sesekali pulang ke kota yang menjadi rumahku sejak lahir; jika suatu hari nanti aku semakin sulit membagi waktuku denganmu, paksa aku untuk segera kembali pulang ke hati yang paling rumah untukku; jika suatu hari nanti ada seseorang yang benar-benar mengagumi hatiku, ingatkan aku untuk memperkenalkan seorang wanita pembentuk hati itu, Kamu. Selamat bertambah usia, Mam! Ini tahun pertama ketidakhadiranku di hari spesialmu, menandakan bahwa puteri kecilmu sudah semakin dewasa dan semakin dekat dengan kehidupan yang lebih mandiri. Peluk aku selalu dalam doa-doamu ya, jangan lupa mengucap syukur untuk usia yang baru *hug*

(Bukan) Curhat Colongan

Disebut sering juga tidak, percakapan kita kebanyakan hanya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan basa-basi "Sehat?" yang kemudian kujawab dengan anggukan mantap sambil berkata, "Sehat dong!" tanpa bisa kau lihat keadaanku yang sesungguhnya. Terkadang aku hanya menghubungimu ketika aku butuh saja, seperti yang kulakukan malam ini. Pesan singkatku "Sudah tidur belum?" dengan sigap kau jawab dengan terteranya namamu di layar telepon genggamku. Kau sering kali kuabaikan dalam ingatan, ternyata tidak begitu buruk karena tempatmu bukan dalam otak, tetapi dalam hati hehe. Rasanya baru kemaren aku bertemu denganmu, namun kini tak ada lagi kau dihadapanku. Kita kembali dibatasi jarak yang membuatku tak mampu lagi melihatmu sesukaku. Kini aku sudah mulai tahu apa yang kau rasakan setiap harinya, ah memang belum sepadan dengan yang kau rasakan, tapi aku bahagia. Setidaknya, bagian dari perjuanganmu, cepat atau lambat akan kurasakan juga. Semoga ak

Surat Untuk Mba

Selamat malam, Mba. Boleh saya menyampaikan sesuatu lewat tulisan saya kepada Mba? Maaf sebelumnya kalau Mba merasa saya lancang, saya memang tidak mengenal Mba secara personal, tidak tahu bagaimana hati Mba yang sebenarnya, saya hanya sekedar tahu nama Mba dan segelintir cerita tentang Mba, itupun diceritakan secara singkat oleh orang lain hehe. Mba, mungkin Mba ngga pernah tahu, tapi saya cukup sering "ngikutin" Mba dari jauh. Hampir setiap hari mungkin, kemudian ketika saya melihat Mba, saya mulai menerka-nerka bagaimana kira-kira perasaan Mba hari itu. Saya memang sok tahu, Mba~ Mba, kalau boleh dan Mba bersedia, bolehkah saya mengenal Mba lebih dekat? Bukan untuk mengais kisah hidup, Mba, hanya saja saya penasaran dengan sifat Mba yang sesungguhnya. Eh iya, Mba, sepengetahuan saya setelah beberapa bulan ini "ngikutin" Mba, saya akhirnya tahu kalau Mba ini bisa main musik. Ah, Mba, andai saya bisa seperti, Mba hehe. Mba, walaupun kemungkinan Mba membaca

Terima Kasih, Pejuang!

Di antara banyak orang hebat yang ku temui dan kagumi, kau adalah salah satunya. Kau sebut dirimu pejuang karena memang kau adalah pejuang; untuk dirimu, keluargamu, dan orang-orang yang berada di sekitarmu - dimanapun kau berada. Hari ini, aku menemuimu dalam gambar, ternyata ingatan tentangmu belum berubah sedikitpun. Kau terlalu jelas dalam ingatan, yang kemudian aku kesampingkan agar aku tak semakin terluka. Satu hal yang aku yakini, "setiap orang adalah pejuang.", begitu juga denganmu... seperti yang kau lakukan hari ini. Demi mereka yang mencelamu, ku hantarkan permintaan maafku padamu. Seperti katamu waktu itu, tentang hal-hal yang tak akan bisa dipaksakan dan tak berujung, bukankah mungkin ini saatnya untuk sama-sama belajar menerima kehilangan? Warm hug, Your (ever) personal fighter.

Sela

Hatiku ria, mataku berbinar penuh suka, kau ada di hadapanku kini, walau tak secara langsung kulihat. Kemudian kita saling bertukar sapa, basa-basi, hanya untuk mencairkan suasana tegang yang tergambar jelas di bibirmu kala kau menyunggingkan senyum. Jawaban doaku berbulan-bulan terakhir ini terjawab sudah. Tentang segala air mata yang terbuang di tengah perjalanan panjangku, tentang segala tanya yang ku kirimkan pada Tuhan setiap harinya, tentang segala perasaan tidak dicintai oleh siapapun, kini kudapatkan sudah jawabannya. Untuk menjadi yang terbaik saat ini, terima kasih banyak.  Walau mungkin kenyataan paling membahagiakan antara kita hanya sebatas duduk bersebelahan dengan berbagai topik paling basi yang pernah ada, tak apa, aku tetap bahagia. Semoga kita tetap berbahagia walau dalam sela.

Kalian dalam Kisah Klasik

Hari itu dia pulang ke tempat pengasingan, yang beberapa bulan terakhir ini selalu kalian kumandangkan dalam doa, agar kota itu menjadi kota kalian bersama. Tak ada yang berubah dengan kota itu, semuanya sama seperti terakhir kali dia meninggalkannya 2 bulan lalu. Waktu itu, aku ingat, dengan lantang dia suarakan, "Sampai berjumpa kembali!" Lalu dia terbang mengudara, melintasi langit biru dengan rasa yang tak mampu diungkapkannya lewat kata. Harapannya banyak. Doanya bagai napas yang dia hembuskan setiap waktu. Dia berjalan menyusuri jalanan yang ramai oleh kendaraan, menyeret koper merah yang dibawanya pulang. Pikirannya entah kemana. Dilewatinya sebuah rumah kecil yang sudah disiapkannya untuk menjadi tempat tinggal kalian bersama. Langkahnya terhenti sebentar, sekedar melihat keadaan. Aku tahu, perihal mengikhlaskan, dialah yang paling sulit. Mungkin dia salah dalam berharap, mungkin porsi harapannya terlalu tinggi melampaui segala sesuatunya. Tapi, tidak, tidak ada

"Rumahmu"

Terkadang kau merasa iba pada dirimu, bukan karena rumahmu diserbu oleh orang-orang yang tanpa sopan-santun menerobos masuk begitu saja, bukan pula karena orang-orang di dalam rumahmu yang tiba-tiba berubah menjadi orang yang menakutkan. Terkadang kau ingin menutup mata sejenak, melupa apa yang harus kau kerjakan setiap harinya, mencoba hidup tanpa helaan napas, agar tak terdengar desahan berat keluar dari hidungmu. Kau tahu, tak ada yang mampu menjaga rumahmu kecuali dirimu sendiri. Hingga tiba-tiba suatu hari mereka satu per satu memasuki teras rumahmu. Membuka pagar rumah sedikit demi sedikit, sampai akhirnya kalimat pujian terdengar manis keluar dari mulut mereka. Namun kau tahu, kau tak perlu menikmati pujian palsu yang mereka hidangkan. Mereka sudah berada di depan pintu rumahmu, berusaha masuk tanpa mengetok. Mereka pikir, sikapmu yang mempersilahkan mereka memasuki teras rumah adalah tanda nyata bahwa kau telah luluh. Namun kau tahu, mereka tak pernah benar-

Pertanyaan Tanpa Jawaban

Selama ini kau berjuang, melawan sepi yang betah menemanimu. Tanpa sadar bahwa banyak hal mampu kau lakukan agar tak merasakan sepi. Kau berjuang melawan sesuatu yang bahkan wujudnya pun tak pernah kau lihat. Lantas, perjuangan macam apa yang kau lakukan untuk menebasnya? Selama ini kau bertahan, memaklumi suasana hati yang tak pernah stabil. Dengan air mata sebagai bayarannya, karena tak ada lagi yang kau miliki tersisa padamu selain air mata. Lantas, pertahanan seperti apa yang hanya membuat luka tanpa menghasilkan apa-apa? Selama ini kau percaya, pada hati yang dititipkan padamu. Merawatnya tanpa lelah, mencintai dengan ikhlas, tanpa pernah kau dapatkan kepastian yang utuh. Lantas, kepercayaan terhadap apa yang kau jaga selama ini, sedang hati yang dititipkan padamu adalah bukan untukmu?

Kau Yang Diam Diantara Jeda

Kulihat kau berdiam diantara jeda. Duduk, tak bergeming, dengan tatapan tanpa makna. Ternyata kau belum berubah, masih merapal doa yang sama untuk sesuatu yang tak akan pernah kau miliki, tak peduli seberapa kuat genggamanmu. Mungkin karena doa tak butuh imbalan apa-apa, karena mengadu pada-Nya adalah hal yang tak akan pernah menuntut bayaran. Berhentilah wahai perempuanku. Biarkan jeda mengajarimu perihal mengikhlaskan. Bukan karena kau tak pantas memiliki, tetapi karena ikhlas lebih dari segala yang kau punya. Kulihat kau berbicara dalam tawa. Tentang hatimu yang tak lagi sama, tentang nyaman yang perlahan-lahan memelukmu. Yang diam-diam kau sukai. Walau tak pernah ada aku dari mulutmu. Berhentilah, wahai perempuanku. Menggantung harap pada yang tak pasti, walau kakimu telah melangkah sangat jauh. Tak ada lagi yang harus kau perjuangkan, terlebih pada sebuah yakin yang beda, karena tak selalu doa mampu menyamakan beda.

End of Everything?

Kita bertemu tidak selalu dengan cara yang sama. Kau menemuiku dengan caramu dan aku menemuimu dengan caraku, yang masing-masing tidak kita ketahui. Bertemu dalam diam, hanya sekedar melihat apakah kita baik-baik saja atau tidak. Kemudian setelah saling bertemu, kita kembali menjalani rutinitas keseharian kita sendiri-sendiri dengan cara yang kita anggap benar. Tak ada yang spesial dari setiap pertemuan itu, terlebih lagi tak ada komunikasi diantaranya. Akan tetapi kita survived. Mungkin terlalu kasar bila diartikan dalam bahasa indonesia, namun itulah kenyataannya. Proklamasi tentang "aku tak bisa hidup tanpamu" kini hanyalah omong kosong. Tak sejalan dengan apa yang kita proklamirkan selama bertahun-tahun. Bertahun-tahun. Ku ulangi lagi kata itu agar kita sama-sama mengingat sudah berapa ratus hari kita lalui bersama. Berdua. Tapi, ya sudahlah. Sepenglihatanku, semuanya sudah berakhir. Kita, tak lagi menjadi kita. Kau jalani harimu dengan baik, setidaknya yang a

Perihal Yang Tak Bisa Disatukan

Ku akui, belajar tidak selamanya menyenangkan, tidak selamanya memberi arti, tidak selamanya mampu mengubah. Sama seperti aku ketika bersamamu. Tak ada yang kebetulan, tak ada pula kata terlalu singkat. Karena denganmu, aku belajar banyak hal yang selama ini ada bersamaku namun tak pernah kusadari kehadirannya. Yang aku yakini, kamu adalah pelipur lara yang Tuhan kirimkan untukku. Mengobati luka yang pernah menganga sebelumnya. Mengambil penuh tanggung jawab atas apa yang tidak kamu perbuat. Kuakui, aku lupa rasanya bahagia, dan kau datang memberikanku rasa itu. Kuakui, aku enggan tersenyum, namun kau datang mengajarkanku senyum. Kuakui, aku dipeluk erat oleh sebuah sedih, dan kau datang menggantikan pelukan itu dengan tawa. Yang aku yakini, kamu adalah pelipur lara yang Tuhan kirimkan untukku. Hingga kita sama-sama tersadar ada hal-hal yang tak akan pernah bisa kita satukan, bahkan oleh seluruh kebahagiaan yang telah kamu berikan.