Tragic Story. Fake Smile.
Andai saja niat baik selalu berbanding lurus dengan
pemahaman orang lain. Andai saja judgement pribadi akan orang lain tidak
terlalu menguasai bumi. Dan andai saja, kita lebih suka menjadi hakim akan diri
sendiri; akan perkataan yang kita ucapkan, akan pandangan yang kita utarakan
terhadap orang lain, pasti semua kekeliruan tak akan pernah terjadi.
Aku kembali lagi membawa sekarung kata, yang selama ini
hanya tersimpan diam di balik jeruji hati. Menatap matamu yang tertawa bahagia
di dalam pigura ternyata tak cukup membuat hati berhenti menangis. Aku hampir
lupa ritme suara tawamu, semua yang ku ingat hanyalah sesenggukan darimu yang
kemudian larut di pundakku, bercampur dengan minyak wangi yang ku kenakan di
pakaianku.
Tragis kisah ini.
Apa lagi yang akan terjadi setelah ini? Rasanya tak sanggup
bila harus berada dalam kondisi terbuang olehmu; walaupun aku tau itu sudah
terjadi.
Bahagiaku tak terlalu rumit, cukup melihatmu bahagia pun aku
sudah bahagia, walau sedih di hati tetap menjadi raja, memerintah entah sampai
kapan.
Kata mereka, aku harus tetap menjadi tiang kokoh dan terus
menjadi penyemangatmu apapun yang terjadi, hingga seringkali aku lupa
membahagiakan diri sendiri. Keramaian kota yang selama ini sangat ku benci,
kini menjadi sahabat karibku menepis luka.
Sama halnya dengan air yang berada di tengah teriknya
mentari, demikianlah aku. Ia kering dengan sendirinya ditelan oleh tertawaan
mereka, yang sungguh bahagia, kemudian aku berpura tertawa.
Aku, lagi-lagi: palsu.
Comments
Post a Comment