Kalian, Yang Enggan Ku Sebut "Kalian"

Hai,

Aku kembali membawa berkas kenangan yang sesungguhnya tak pernah lepas dari genggaman tanganku. Hendak mengungkapkan sesuatu yang acapkali mengganggu hati.

Tentang segala yang tercipta antara kita, tentang aku, kamu, dan juga dia yang selalu kamu banggakan.

Aku bersyukur akan hati yang tak diberi mulut oleh Sang Kuasa. Ia pasti akan menjadi pencerita paling jujur, menceritakan apa saja yang ada dalam hati pemiliknya.

Baiklah, lupakan sejenak soal hati. Aku ingin berbicara tentang dia. Tentang dia, yang ku rasa selalu saja mampu menyaingi tempatku. Tentang dia, yang selalu saja mampu memberi waktu lebih yang selalu berkesan untukmu ketimbang aku.

Bagaimana malam kalian 2 hari lalu, saat kamu meninggalkanku di ujung telepon demi menemani dia yang katamu ingin menginap. Ah, kaumemang tak tau persis bagaimana rasa hati ini. Pedih? Pasti.

Tenang, aku tak sepenuhnya menyalahkanmu, bukankah kauhanya berbuat sedikit kebaikan kepadanya? Ya, aku tau.

Sore ini sore pertamamu tanpa aku dalam tempat persinggahan kita menghadap Tuhan. Ku dengar-dengar, dia akan ada disana juga bersamamu, ya? Baiklah, aku kalah lagi.

Ah, lonceng gereja telah berdentang memanggilku, ku rasa aku harus masuk menghadap Dia, ada yang ingin ku utarakan perihal rasa yang kerap kali ku rasa kala kalian bersama.

Selamat sore, pemilik hati. Tidakkah kauingin harimu hari ini berakhir sempurna seperti siang yang kita lewati bersama tadi?

Peluk terhangat dariku, yang selalu kausebut wanita pencemburu.

Comments

Popular posts from this blog

Ingin (yang) Tak Sampai

Garis Kita Tak Akan Pernah Bertemu, Bukan?

Surat Pertama Untukmu, Tentang Aku Yang Akan Selalu Ada