Ragil, Aku Tertular Virusmu
Tanjung Piayu, Mei 2008
Dear Ragil,
Aku baru saja menerima pesan singkatmu di kotak pesan Nokia 3315ku. Hei, kamu memang terlalu pandai merangkai kata. Aku sampai-sampai kesulitan menyembunyikan rona merah pipiku yang bersemu sedari tadi. Kau tahukan bila sampai Mamaku melihatku dalam kondisi seperti ini? Bisa habis aku di interogasi.
Ngomong-ngomong, terima kasih ya! Aku tau kautak akan pernah bisa membuatku duduk diam dengan wajah ditekuk sepuluh seperti ini. Hihihihi. Sesungguhnya aku tak benar-benar marah, cuma kesal sedikit saja kok. Lagipula, siapa juga yang tak kesal ditinggal bermain bola terus-menerus seperti ini.
Tanjung Piayu, Juni 2008
Dear Ragil,
Bagaimana kabarmu setelah perpisahan absurd kita kala itu? Ya, ku akui aku memang terlalu labil hingga akhirnya aku memilih untuk meninggalkanmu. Tapi itu tak penting. Siapa wanita yang menjadi penggantiku kini? Ah, aku yakin dia pasti sama tersipunya denganku tiap kali kaukirimi pesan singkat andalanmu itu. Aku berani jamin!
Aku sekarang sedang sendiri. Entahlah, apakah ini keputusan yang benar-benar berasal dari dalam hati atau karena aku yang terlalu sibuk untuk memperhatikan sekelilingku. Jujur saja, hingga detik surat ini ku tuliskan, aku masih belum merasakan pertemuan manis seperti pertemuan kita dulu, kaumasih ingat?
Tanjung Piayu, Februari 2009
Dear Ragil,
Hari ini aku sedang sibuk, maklumlah, ia sedang berulang tahun hari ini, kautahu kan siapa maksudku? Iya, temanmu yang pernah kaukenalkan saat pertemuan manis kita, dulu. Sekarang aku sedang bersamanya, memang, kuakui ia tak sehebat kaudengan segudang pesan singkat pelumer hati itu, tapi setidaknya, dia tak pernah meninggalkanku bermain bola sepertimu :p
Ku dengar kausudah mengakhiri hubunganmu dengan wanitamu itu ya? Kenapa? Sudah berapa kali kukatakan, perlakukan wanita jangan seperti kaumemperlakukan bola. See? Siapa lagi yang bisa tahan denganmu jika terus-terusan seperti ini?
Tembesi, Februari 2015
Dear Ragil,
Maafkan aku, tapi, apakah kaumasih hidup? Sudah lama sekali tak pernah kudengar kabarmu. Urusan kehidupanku sangat membuatku sibuk hingga aku nyaris tak pernah bergabung dengan teman-teman kita dulu.
Oh iya, ada yang ingin ku sampaikan padamu, perihal pesan-pesan singkatmu beberapa tahun lalu. Kaumasih ingat pertemuan pertama kita hingga akhirnya kita memutuskan untuk menjalin kisah bersama? Syukurlah kalau kaumasih ingat.
Tentang kebiasanmu itu, yang kerap kali membuat pipiku bersemu merah, aku ingin mengucapkan terima kasih.
Kaumemang paling bisa bermain aksara, ah, entah sudah berapa wanita yang bernasib sama denganku dalam hal ini.
Enggg, Ragil...
Terima kasih, ya! Berkatmu, aku kini terhanyut dalam pusaran arus aksara, aku mencintai rangkaian kata, bak udara yang kerap kali dibutuhkan manusia, demikianlah aku tak mampu hidup tanpa rangkaian kata.
Aku mencintai duniaku yang sekarang, jauh lebih berwarna setelah kaumenyuntikku dengan virus abadi ini. Ku rasa kauberhasil.
Dear Ragil,
Walau mereka mungkin tak pernah menganggap kisah kita adalah "kisah cinta" tapi yang ku tahu pasti, selalu akan ada "kita" di dalamnya, walau bukan sepasang kekasih seperti yang seringkali diumbar orang banyak di bio twitter atau status BBM, namun "kita-nya" kita jauh lebih berarti dibanding itu semua.
Ah! Aku hampir lupa memberitahumu sesuatu. Aku sekarang sedang jatuh, ke dalam sesuatu yang disebut cinta. Dia, yang ku sayangi sepenuh hati, kini menjadi "korban" peluru aksaraku. Seperti yang kaulakukan padaku, dulu.
Dear Ragil,
Entah kemana harus ku alamatkan surat ini, aku hanya ingin berterima kasih. Pertemuan dan kisah kita mungkin tak panjang, namun dampak yang kautularkan terus berlanjut hingga kini. Doakan aku ya, semoga impianku menjadi penulis terwujud.
P.S: Dia yang ku sayang sangat tidak suka membaca, semoga ia tak membaca suratku padamu ini. Atau jika pun ia membacanya, semoga aku bisa menyuntikkan "virus" ini juga padanya, seperti yang telah kaulakukan diam-diam terhadapku.
Comments
Post a Comment