Perempuan Ber-apron Biru
Batam, 2 Februari 2015.
Akan selalu teringat jelas dalam benakku, tentang apron lusuh yang selalu kauagungkan setiap pagi. Setia menemanimu berperang melawan lelah, demi mereka yang kausebut "harta".
Melihatmu bekerja dengan gesit bukanlah hal asing bagiku, terutama saat ku ingat celetukan pertamaku soal kerajinanmu yang tak pernah ada tandingannya."Aku ingin sepertimu, tak pernah membuka celah untuk lelah." yang kemudian kaujawab dengan sebaris kalimat simple namun menenangkan - kamu pasti bisa.
Baiklah, sesungguhnya bukan ini yang ingin ku bicarakan denganmu, ah, tak pantas rasanya jika ku tulis "bicarakan" karena pada kenyataannya aku tak sedang menyuarak apa-apa.
Kepadamu, perempuan ber-apron biru, ini adalah hari ke-3 menjelang kepulanganku, ke kota yang ku pilih menjadi tempatku menggerek katrol ilmu, demi kehidupan yang lebih baik, katamu.
Bukan inginku pergi meninggalkanmu karena toh selama aku pergi pun, hatiku selalu saja tertinggal sebahagian di kota ini.
Akan selalu tergambar jelas dalam ingatanku tentang kakimu yang berlarian kesana-kemari mengangkat termos berisi air panas sebagai penyeduh kopi maupun pop mie pengunjung tokomu.
Ah, aku yakin kautau itu.
Semakin berpikir aku tentang apa yang dapat kulakukan, semakin ku rasa nyaliku mengecil. Memang, aku belum sepenuhnya mengerti tentang perjuangan hidup.
Kepadamu, perempuan ber-apron biru, bagaimana jika ku minta pada Tuhan untuk mengulang kembali waktu, kembali ke tanggal 23 Desember tahun lalu, hanya untuk memperlama waktuku berada di sampingmu.
Ya, walau aku tau apa yang akan menjadi jawabmu. "Lalu bagaimana dengan kuliahmu nanti, Kak?", kan?
Kepadamu, perempuan ber-apron biru, sengaja ku rangkai aksara padamu di hari ke-2 bulan ini, sebagai penguatan kakimu dalam melangkah.
Semoga perjuanganmu tak pernah sia-sia, demi mereka yang kausebut "harta", demi mereka yang mampu membuatmu tersenyum tulus tatkala mereka berhasil.
Kepadamu, perempuan ber-apron biru, bukankah akan sangat singkat jika hitunganku hanya sampai 3? Atau haruskah ku sebut nama harinya agar tak terasa terlalu cepat?
Kepadamu, perempuan ber-apron biru, adalah sedihku saat ku ingat aku harus kembali menyendiri di kota itu, memeluk lutut saat dingin menusuk tulang.
Haruskah selalu ada perpisahan setelah pertemuan? Termasuk di antara kita, yang adalah se-darah, dimana dalam aliran darahku pun mengalir darahmu dan lelakimu yang adalah O?
Kepadamu, perempuan ber-apron biru, maukah kauberjanji padaku untuk tetap sehat dan bahagia, walau mataku tak akan menatapmu hingga tengah tahun datang menyapa?
Kepadamu, perempuan ber-apron biru, maukah kauselalu memelukku dalam doa agar bahagiamu selalu menjadi bahagiaku?
Kepadamu, perempuan ber-apron biru, semoga Brakialgia yang kerap kali kaurasakan, lenyap oleh Kuasa Tuhan.
P.S:
Tentang Brakialgia yang kerap kali menyiksamu, aku janji akan menanyakannya pada dosen Neuro-ku di semester ini. Entahlah, ku rasa aku akan mengambil Spesialisasi Saraf setelah menjadi Dokter Kandungan favorit para ibu hamil hihihi.
Teruntuk perempuan ber-apron biru yang selalu kupanggil Mama.
Jarang-jarang nemu surat puitis gini, hebat kak :)
ReplyDelete