Memeluk Ketakutan

Teruntuk aku yang entah kenapa,

Mungkin, adalah lumrah bagi setiap orang merasa takut akan kehilangan. Seperti yang tersirat dalam suratku kemaren, aku sedang tak dalam kondisi yang benar-benar baik walau telah ku kirimkan surat terima kasihku kepada Tuhan, di Surga.

Namun lagi-lagi ku rasa aku gagal, terus-menerus di lingkupi rasa kuatir hanya akan membuat tulangku semakin kering dan keropos termakan waktu. Tapi inilah kenyataannya, bahwa aku tengah berjuang memeluk semua ketakutanku erat agar tak seorang pun dapat melihatnya lantas menertawakanku sambil lalu.

Ku akui, aku bukanlah pemeluk handal. Aku yang lebih suka di peluk membuatku kurang lihai memeluk, walau ku tahu, akan selalu ada dia yang merindukan pelukanku, yang sebenarnya berperan dalam menghangatkan atau tidak.

Tapi ku rasa itu bukan masalah, setidaknya untuk saat ini.

-

Baru saja ku terima telepon dari Papa, perihal Mama yang masih sakit. Ah, andai saja aku tak pernah alergi, andai saja alergiku tak beralih ke Mama, andai saja aku tak meninggalkan alergi itu di Batam saat itu. Semuanya sudah terlambat.

Tanpa tahu apa yang benar-benar membuatku takut, aku diam-diam mengangkat tangan lalu berdoa dalam linangan air mata.

-

Jujur, aku merasa hari-hari ini semakin berat.

Air mata yang mengalir deras sama sekali bukan penghalangku terus memanjatkan doa pada-Nya, pemilik semesta dan isinya.  Seperti seorang guru yang tengah mengabsen kehadiran murid-muridnya, demikianlah aku juga mendoakan mereka yang ku sayang, satu per satu tanpa ada yang terlupa.

-

Aku hanya terlalu mencintai mereka, sehingga membayangkan sehari tanpa mereka pun aku sudah tak sanggup.

Beberapa menit berlalu dengan air mata yang tak kunjung berhenti mengalir. Aku mengakhiri perbincanganku dengan-Nya dengan "amin" di akhir doa.

-
-

Mataku menatap ponsel yang berdering sedari tadi.

Dia.

Astaga, dia tak boleh tahu aku sedang menangis. Ku lap air mataku, mengecek tingkat keparauan suaraku, dan mengangkat telepon: Halo.

Comments

Popular posts from this blog

Ingin (yang) Tak Sampai

Garis Kita Tak Akan Pernah Bertemu, Bukan?

Surat Pertama Untukmu, Tentang Aku Yang Akan Selalu Ada