Si Pencipta Duka.

Begitu duka, mencipta rasa tanpa memandang tempat. Begitu pun aku, merusak rasa tanpa memperhatikan subjek perasa.

Bukan lihaiku mencipta kata, begitu pun maaf. Merasa seolah yang paling benar sendiri, cukup membuatku keliru akan hal-hal yang terjadi di sekelilingku.

Ku akui, bahagia ku tak dapat ku pungkiri hari itu, namun seperti dikatakan sesepuh zaman dulu "jangan banyak tawa di awal, pada akhirnya bersisa air mata."

Kini diam sudah jadi kawan. Tiada tawa terdengar, bahkan emoji pun tidak.

Langkah kaki pun enggan bersuara, menghormati hati yang sedang berduka. Tapi aku lagi-lagi tak mampu mengerti.

Kota impian kita dulu semakin memanggil-manggil ragaku. Entah apa yang salah akan kebersamaan yang tercipta ini.

Tinggal hitungan hari, dan kamu tak akan lagi kecewa melihat tingkahku. Tinggal hitungan hari, dan kamu tak akan lagi benci dengan ketidakinisiatifanku.

Kecewa pada diri sendiri bukanlah hal yang langka bagiku. Yang aku selalu tak mengerti hanya: mengapa aku selalu saja membuat duka.

Andai saja aku tak hadir hari itu. Andai saja aku tak menganggap diri penting. Pasti tawa akan selalu besertamu, lelah tak akan menghampirimu, dan duka... tak akan pernah terpancar dari bola matamu.

Ah. Andai saja aku tak terlahir.

Selamat pagi, Diam.
Aku mau kausegera pergi darinya - dengan atau tanpa aku.

Comments

Popular posts from this blog

Bersiap

Selamat Ulang Tahun

Rangkaian Aksara Untukmu.