Posts

Showing posts from April, 2014

See you, in Neverland.

Inilah waktu dimana aku harus menenangkan diri dan berdiam agar pil pahit ini dapat ku telan tanpa air. Lagi... Semoga kalian tetap aman, bahagia, dan tiba di tempat dimana harapan kalian berada. Isak tangis bukanlah hal yang perlu kaudengar lagi. Perhatian dan kepedulian tak butuh kepura-puraan. Selamat berjuang. Semoga langkahmu tak berhenti di tempat yang sama denganku. Semoga langkah kita tak berpijak di tanah yang sama. Kautak pantas dapatkan itu. Kautak pantas menelan pil-pil pahit yang acapkali harus ku telan. Keep healthy, Love. See you, in neverland.

Tak Semuanya Sama.

Sebuah kata jujur memang lebih berarti dibanding sebaris kalimat bualan. Aku kembali mencoba memahami apa yang sebenarnya bersembunyi di balik kalimat demi kalimat yang terus saja terucap dari setiap mulut orang. Seakan tak mengerti makna. Seolah tak tau rasa. Ku rasa bukan aku saja yang merasa risih dengan semua tatapan sinis. Namun kerap kali risih yang ku rasakan ku posisikan terhadap diriku sendiri yang tak jarang membuatku lemah dan semakin lemah. Hari ini, k aukatakan lagi kalimat itu. Sebagai seseorang yang enggan untuk pergi, ketahuilah bahwa akan ada saatnya kepergian malah bukan awal yang baik seperti yang seringkali di suarakan khalayak ramai. Mengertilah, tak semua manusia bernyawa ini sepertimu. Tak semua kita sama. Tak semua rasa juga sama. Kadang manis kita puja sebagai rasa yang paling luar biasa dalam hidup, namun taukah kaubahwa kelebihan manis pun hanya akan membuat tubuhmu menggeliat geli karena kemanisan yang selalu saja di tawarkan dunia? Pikirkanlah matang

XOXO ({})

Jika kauada di tempat dimana aku berada sekarang ini, percayalah kauakan merasakan mual yang sangat hebat akan apa yang ada di hadapanmu kini. Bukan. Bukan karena ada manusia berkebutuhan gerak banyak sedang mencari muka, namun karena matamu dipaksa menatap kolabirasi konsonan dan vokal yang menari-nari pada layar proyektor. Ah, sudahlah. Kalau ku jelaskan lebih panjang, aku yakin kautak akan mengerti. Mengenai pelvis, limpa, serta thymus yang baru saja mendengung di telingaku. Apa yang akan kaukerjakan di siang yang prematur ini, Sayang? Istirahatkan saja tubuh lelahmu. Sebelum ia timpang dan tak kuat lagi berdiri seperti kursi-kursi taman yang dicuri kedua kaki kirinya. Kabari aku secepat yang kaumampu ya, aku menunggu pesan kabarmu hinggap di kotak masuk pesanku. Aku harus kembali lagi. Kali ini bahasannya mengenai sistem imun. Ku rasa aku harus mendengarnya. Imunku lemah. Selamat siang, Sayang. Jangan lupa makan siang, sendirian, aku tak ingin makan siangmu ditemani orang lai

Alasan Terselubung Yang Selalu Saja Ku Simpan Sendiri.

Aku terlalu payah berusaha, hingga segala sesuatunya terasa gamang. Menghubungimu adalah hal tersulit yang ku hadapi beberapa bulan terakhir ini, terlebih ketika gadget terlalu menudungi kepalamu. Kini yang ku punya hanyalah selembar putih kosong blog, mati, semu. Aku tak punya cara lain bahkan waktu sebentar saja untuk ku curi darimu, perhatianmu sulit sekali ku raih. Tulisan ini akan berbicara tentang sebuah alasan, yang aku tau selalu kaubenci. Aku tau bahkan sangat tau, akupun sejujurnya membenci alasan, tapi percayalah, alasan yang akan kuutarakan ini bukanlah alasan klasik. Aku lelah dengan semua kegiatan yang ku jalani kerap kali. Mungkin karena motifku salah. Aku memang menginginkannya, namun di tengah perjalanan, aku menambahkan lagi motif terselubung dalam semua kegiatanku. Aku hanya ingin capek. Gila? Memang. Aku ingin merasakan capek yang luar biasa, dimana aku harus bekerja keras setiap harinya, dimana aku harus rapat ini itu, dimana aku bisa langsung tidur begitu

(ini bukan) Bullshit.

"Selamat malam, Kamu. Mungkin saat ini kamu sudah tidur, walaupun aku berharap belum. Ku coba menghubungimu namun jawab tiada menyapa. Ini mungkin cara paling primitif yang kerap kali ku lakukan, tapi kali ini aku ingin benar-benar bercerita sesuatu. Hari ini aku ujian, ku rasa aku gagal. Sama dengan kegagalanku memahamimu, kan? Maafkan aku. Sejujurnya aku pun kurang mengerti, bagaimana hal ini dapat terjadi akanku. Aku hanya belum menjadi pakar kesehatan, maka semuanya ini terasa kelabu. Aku terlalu takut akan vonis, walau aku tau sungguh bahwa vonis tak akan mampu mengambil nyawaku, kan? Aku sungguh tak merasa perubahan yang berarti dalam diriku, awalnya ku kira aku hanya terlalu lelah sehingga aku tertidur. Namun hal ini seringkali terjadi belakangan ini. Lelahku lenyap, namun kantuk senantiasa menyertaiku. Aku teringat ibuku. Ia dahulu pernah mengalami hal seperti ini. Beberapa waktu lalu, aku sempat memeriksakan mataku sebelum aku mengambil tindakan untuk mengunjung

K. L.

Image
Kala duka mengoyak tabir hati yang kian perih, ku lihat lagi kau di ujung jalan. Langkahmu tak pernah kalah akan waktu. Ketika tahu yang kausantap tinggal tetap dalam otakmu, kaujauhkan jarak antarkursi tempat ku duduk. Katamu, K. Dua tiga hari ku lihat lagi kau di ujung jalan, masih dengan langkah yang tak pernah kalah oleh waktu. Harapanku, ku dapati guratan tipis senyum di wajahmu. Namun tidak. Langkah seribu membawamu pergi ke tempat lain tanpa sedikitpun melihatku. Katamu, K. Malam ini, langit bercerita sendu. Tentang K yang selama ini kata orang ada. Tersedu ia menangis membasahi rambutku yang baru saja kering dihembus angin siang. K. Kemudian L. Berturutan dalam deretan abjad. Konsonan selamanya. K. Kawan. Hanya. Dalam. Duka. Mengalahkan Segalanya Menyingkap Tirai Hitam Pembungkus Kebusukan Kini aku mengerti, arti sebuah konsonan K. "K pada Kawan, L pada Lawan." Aku tak mengerti arti kata "Kawan". Siapa penciptanya. Untuk apa diciptakan. Se