Aku Harap Ini Imajinasi

Aku ingat waktu itu, waktu dimana kamu mengajakku bepergian seharian menjelang kepulanganku ke kota dimana aku harus menyelesaikan pendidikanku. Belum lama yang pasti, karena aku berada di kampung halamanku pun tidak lama.

Aku ingat semua yang kamu katakan, suruhlah aku mengulanginya, aku yakin aku bisa. Semenjak hari itu, gairahku untuk pulang semakin membara, aku senang aku akan pulang, bertemu keluargaku dan juga kamu.

Beberapa hari setelah telponmu waktu itu, aku pun tiba di kampung halamanku. Ah, sudah lama rasanya aku tak menginjakkan kaki disana. Sudah lama juga aku tak melihatmu~

Hari terus berganti, beberapa kali aku menghabiskan waktu bersamamu. Kamu tau? Melihat senyummu merekah adalah kesenangan bagiku. Aku senang melihatmu bahagia, tertawa lepas tanpa ada beban.

Akhirnya, batinku. Akhirnya aku bisa melihatmu lagi setelah sekian banyak rintangan dan halangan untuk pulang :'')

Hingga tiba lah hari itu, sehari sebelum aku akan kembali ke kotaku. Seperti permintaan yang pernah kamu ucapkan dan kujanjikan, kita menghabiskan waktu bersama.

Aku rasa aku akan kesulitan menggambarkan perasaanku kala itu karena aku terlalu senang, kupastikan jika saat itu ada pemilihan wanita paling bahagia, aku yakin akulah pemenangnya.

Dimulai dari pertemuan singkat di hari itu, hingga semuanya berjalan cepat menuju malam. Kamu mengajakku bercerita dengan nada serius yang aku tau awalnya hanya dibuat-buat.

Mungkin itu adalah caramu untuk memosisikan dirimu dalam posisi yang lebih serius. Satu cerita selesai, kita tertawa. Dua cerita selesai, kita tertawa. Begitu seterusnya, yaaa, tawa itu ada karena kita merasa suara serius yang dibuat-buat itu hanyalah untuk bersenda-gurau.

Namun bagian yang paling ku ingat hingga detik ini adalah ketika kamu mulai bercerita tentang awal pertemuan dua orang manusia yang lama-kelamaan aku tau mereka siapa, kita.

Aku hanya bisa tersenyum mendengar ceritamu karena jujur, aku pikir kamu hanya ingin bernostalgia saja. Tapi memang tak semua cerita berakhir bahagia.

Cerita ini mungkin bukanlah bagian dari cerita dalam dongeng yang selalu diakhiri dengan kalimat 'and they lived happily ever after' Aku tau ini realita, tapi haruskah akhirnya begini?

Seharian ini kita benar-benar melewatinya bersama, tertawa dan bercanda bersama, sungguh aku tak menyangka kamu begitu.

Hey kamu, aku ingin kamu tahu sesuatu. Mungkin ini terlihat seolah-olah aku ingin merendahkan diri agar kamu mengasihaniku dan menarik kata-katamu, tapi percayalah, tidak, aku tak seburuk yang kamu bayangkan kok.

Aku tahu rasanya sakit dan menyedihkan, aku sungguh nggak pernah berharap akan seperti ini. Ini jelas-jelas jauh dari harapan. 

Bertahun-tahun aku hidup dengan lingkungan yang berbeda-beda, dengan satu kondisi yang selalu sama tiap harinya: tidak punya teman.

Ketika semua orang yang ku temui punya paling tidak satu orang teman, aku bahkan tak mengerti apa itu teman. Ibuku bilang, teman itu bisa saja teman sekolah. Tapi dalam otakku, mungkin itu teman yang terpaksa disebut 'teman'. Karena peran mereka tak sepenuhnya benar-benar jadi teman - apalagi yang tersayang.

Aku sedih. Aku hanya bisa menangis semalam-malaman tiap kali aku mengingatmu. Selama ini, cuma kamu yang bisa dengerin semua keluh-kesahku di dunia ini. Aku memang punya Tuhan, tapi bukankah seharusnya manusia punya sesamanya untuk saling berbagi?

Tapi kenapa aku tidak? Apakah aku bukan manusia? Lantas apa?

Aku tidak punya teman, maka aku bahagia bahkan sangat bahagia ketika aku punya seseorang sepertimu yang mau menerimaku, tentunya dengan semua ceritaku yang mungkin tak ada pentingnya ini.

Kamu tahu? Aku sedih. Aku sedih kamu pergi dengan alasan yang selalu saja aku anggap alibi - dengan kenyataan bahwa sebenarnya kamu sudah nggak tahan mendengarkanku lebih banyak, iya kan?

Hey kamu, ini sudah hari ke berapa? Ataukah sudah berubah menjadi tahun? Lihatlah, aku belum juga punya penggantimu. Ku rasa memang tak akan.

Hey kamu, masih ingatkah kamu dengan kalimat yang kau lontarkan padaku saat itu?

"Sebelum kamu pulang ke kotamu, aku mau kita udahan."

this story ended up like this melted rose


Bagaimana hatimu sekarang? Akankah kutemui aku di dalamnya lagi setelah sederet kalimat yang pernah kamu ucapkan itu? Ataukah sudah terisi dengan orang lain yang ternyata selama ini sedang mengantri di belakangku?

Jawab aku. Jangan membisu seperti itu. Aku tak suka melihatmu membisu. Aku merindu. Merindu setiap hari, akan tawamu, akan suaramu, akan semua ceritamu. Masih pantaskah aku?

Ikuti kata hatimu, jika memang itu yang kamu anggap pantas untukmu, lakukanlah. Namun jika kamu juga sakit setelahnya, lantas untuk apa kita menyakiti diri sendiri?

Comments

Popular posts from this blog

Bersiap

Selamat Ulang Tahun

Rangkaian Aksara Untukmu.